Kenangan itu menghantamnya lagi. Dua sisi kenangan baik dan buruk tentang
dia menghantam diri Riani dengan sangat kuat. Riani merasakan kakinya gemetar,
tetapi ia berusaha menguatkan dirinya. Ia yang sekarang sudah tidak selemah
Riani yang dulu.
Ia melihat Dewangga
mengulurkan tangan perlahan padanya. Ragu-ragu ia menjabat tangan Dewangga.
Sentuhan kecil dengan Dewangga membuatnya sepert tersengat arus listrik.
Dewangga memperhatikan
reaksi Riani. Ia takut Riani memperlihatkan penolakan padanya seperti saat ia
terakhir bertemu Riani. Ia menarik nafas lega ketika Riani membalas jabatan
tangannya. Ia melirik Janis yang berdiri di sampingnya. Janis memperhatikan
mereka berdua dengan kening berkerut.
Serangan rasa panik mulai
merayapi perasaan Riani. Ia benar-benar tidak menyangka akan bertemu Dewangga.
Sudah bertahun-tahun ia berusaha keras melupakan segala sesuatu tentang
Dewangga. Ia berusaha mencari alasan untuk meninggalkan suasana yang cukup
canggung itu.
“Bu Janis,” panggil Riani.
“Saya permisi ke kelas dulu Bu, masih ada hal yang perlu saya cek di kelas,”
Riani menarik nafas perlahan.
“Mari Pak Dewangga, saya
permisi dulu.”
Dewangga memperhatikan
langkah Riani yang seperti ingin cepat-cepat meninggalkan ruangan. Ia
menghembuskan nafas yang tadi sedikit ia tahan. Riani masih belum bisa
memafkannya, pikirnya.
**
Dewangga
sangat menyukai anak kecil. Seringkali ia menjadikan anak-anak sebagai obyek
potretannya. Ia melihat Kevin melambaikan tangan dari kejauhan. Keponakannya
itu sudah semakin bertambah dewasa.
Kevin memerankan seorang
pangeran dalam drama yang ia mainkan. Dewangga tertawa kecil melihat
keponakannya sudah memiliki sedikit pesona pada lawan jenisnya.
Ia mengalihkan
pandangannya pada seorang wanita yang berdiri di ujung auditorium. Wanita yang
selalu tersenyum melihat setiap penampilan anak didiknya. Senyum yang sangat
jarang ia lihat. Semakin ia memperhatikan Riani, ia semakin terpesona. Setelah
bertemu lagi dengannya, Dewangga yakin ia tidak akan sanggup menjauh lagi.
Ragu-ragu ia berjalan
mendekati Riani. Ia menguatkan tekadnya. Ia tidak bisa membohongi hatinya. Ia
ingin selalu ada di samping Riani.
Riani langsung memasang
sikap waspada ketika ia melihat Dewangga menghampirinya. Ia masih tidak sanggup
menghilangkan luka hatinya. Luka yang sudah Dewangga goreskan begitu dalamnya.
“Udah lama kita nggak
ketemu, Ri. Gimana kabar kamu?” tanya Dewangga.
“Baik,” jawab Riani kaku.
“Mmm, Ri, bisa nggak
kapan-kapan kita makan siang bareng?”
“Maaf, sepertinya tidak
bisa. Saya permisi dulu,” Riani berjalan menjauhi Dewangga secara terburu-buru.
Nafasnya terasa sangat sesak.
Dewangga terdiam. Bukan
hanya belum bisa memaafkannya, Riani pun masih seperti ketakutan bila di dekatnya.
Ia melihat bagaimana Riani berusaha menutupi ketakutannya, namun sorot mata itu
masih tetap sama.
Ia mengacak-ngacak
rambutnya frustasi. Ia tahu, kesalahannya pada Riani memang tidak termaafkan.
Namun, ia sungguh berharap Riani akan memberikan kesempatan untuk memaafkannya.
Tiba-tiba ia tersadar,
saat ini ia sedang bekerja. Bagaimanapun sakit yang ia rasakan, ia harus tetap
bersikap profesional pada pekerjaannya. Dewangga menghembuskan nafasnya. Ia
harus mengesampingkan perasaannya dahulu.
Seseorang menepuk bahu
Dewangga, ia pun menoleh dan melihat Janis sudah ada dibelakangnya.
“Gimana Ngga?” Janis
menanyakan hasil pekerjaannya.
“Bagus-bagus dong mbak,” jawab
Dewangga sembari terkekeh.
Janis memandang Dewangga
secara seksama. Dewangga jengah merasakan pandangan saudaranya yang cukup
intens padanya.
“Ada apa antara kamu sama
Riani?”
Dewangga kaget mendengar
pertanyaan Janis. Ia tidak menyangka bahwa saudaranya itu merasakan sesuatu
antara ia dan Riani.
“Ya nggak ada apa-apa
mbak,” sahutnya pelan.
Janis memutar matanya
mendengar jawaban Dewangga.
“Nggak usah bohong deh
Ngga. Aku lihat sendiri kok sikap kamu sama Riani. Sikap Riani yang berusaha
menjauhi kamu kayak kamu itu virus penyakit. Pandangan mata kamu kalau melihat
dia kayak orang buta yang akhirnya bisa melihat matahari lagi.”
Angga terdiam. Mungkin
menutupi perasaannya pada Riani memang mustahil. Ia menarik nafas perlahan.
“Ceritanya panjang mbak.
Nanti kapan-kapan aku cerita. Ini kan aku lagi kerja mbak, masak aku makan gaji
buta kalau malahan curhat sama mbak. Hehehe,” Angga berusaha menutupi kegugupannya
dengan tertawa pelan. Ia takut bagaimana reaksi Janis bila mendengar ceritanya.
“Oke, nanti aja kamu cerita sama
mbak. Tapi janji kamu harus segera cerita. Sekarang kerja dulu sana yang rajin.
Awas kalau hasilnya jelek,” ujar Janis sembari berjalan menjauhi Dewangga.
Dewangga mengambil ponselnya.
Menghubungi sahabat terdekatnya.
“Halo, Shana, bisa ketemu nanti
malem?” tanyanya pada seseorang yang ia hubungi.
**
Part-5