Sabtu, 13 September 2014

Goresan Luka Hati-6



                  Kenangan itu menghantamnya lagi. Dua sisi kenangan baik dan buruk tentang dia menghantam diri Riani dengan sangat kuat. Riani merasakan kakinya gemetar, tetapi ia berusaha menguatkan dirinya. Ia yang sekarang sudah tidak selemah Riani yang dulu. 

            Ia melihat Dewangga mengulurkan tangan perlahan padanya. Ragu-ragu ia menjabat tangan Dewangga. Sentuhan kecil dengan Dewangga membuatnya sepert tersengat arus listrik.

            Dewangga memperhatikan reaksi Riani. Ia takut Riani memperlihatkan penolakan padanya seperti saat ia terakhir bertemu Riani. Ia menarik nafas lega ketika Riani membalas jabatan tangannya. Ia melirik Janis yang berdiri di sampingnya. Janis memperhatikan mereka berdua dengan kening berkerut.

            Serangan rasa panik mulai merayapi perasaan Riani. Ia benar-benar tidak menyangka akan bertemu Dewangga. Sudah bertahun-tahun ia berusaha keras melupakan segala sesuatu tentang Dewangga. Ia berusaha mencari alasan untuk meninggalkan suasana yang cukup canggung itu.

            “Bu Janis,” panggil Riani. “Saya permisi ke kelas dulu Bu, masih ada hal yang perlu saya cek di kelas,” Riani menarik nafas perlahan.

            “Mari Pak Dewangga, saya permisi dulu.”

            Dewangga memperhatikan langkah Riani yang seperti ingin cepat-cepat meninggalkan ruangan. Ia menghembuskan nafas yang tadi sedikit ia tahan. Riani masih belum bisa memafkannya, pikirnya.

**

              Dewangga sangat menyukai anak kecil. Seringkali ia menjadikan anak-anak sebagai obyek potretannya. Ia melihat Kevin melambaikan tangan dari kejauhan. Keponakannya itu sudah semakin bertambah dewasa.

            Kevin memerankan seorang pangeran dalam drama yang ia mainkan. Dewangga tertawa kecil melihat keponakannya sudah memiliki sedikit pesona pada lawan jenisnya.

            Ia mengalihkan pandangannya pada seorang wanita yang berdiri di ujung auditorium. Wanita yang selalu tersenyum melihat setiap penampilan anak didiknya. Senyum yang sangat jarang ia lihat. Semakin ia memperhatikan Riani, ia semakin terpesona. Setelah bertemu lagi dengannya, Dewangga yakin ia tidak akan sanggup menjauh lagi.

            Ragu-ragu ia berjalan mendekati Riani. Ia menguatkan tekadnya. Ia tidak bisa membohongi hatinya. Ia ingin selalu ada di samping Riani.

            Riani langsung memasang sikap waspada ketika ia melihat Dewangga menghampirinya. Ia masih tidak sanggup menghilangkan luka hatinya. Luka yang sudah Dewangga goreskan begitu dalamnya.

            “Udah lama kita nggak ketemu, Ri. Gimana kabar kamu?” tanya Dewangga.

            “Baik,” jawab Riani kaku.

            “Mmm, Ri, bisa nggak kapan-kapan kita makan siang bareng?”

            “Maaf, sepertinya tidak bisa. Saya permisi dulu,” Riani berjalan menjauhi Dewangga secara terburu-buru. Nafasnya terasa sangat sesak.

            Dewangga terdiam. Bukan hanya belum bisa memaafkannya, Riani pun masih seperti ketakutan bila di dekatnya. Ia melihat bagaimana Riani berusaha menutupi ketakutannya, namun sorot mata itu masih tetap sama.

            Ia mengacak-ngacak rambutnya frustasi. Ia tahu, kesalahannya pada Riani memang tidak termaafkan. Namun, ia sungguh berharap Riani akan memberikan kesempatan untuk memaafkannya.

            Tiba-tiba ia tersadar, saat ini ia sedang bekerja. Bagaimanapun sakit yang ia rasakan, ia harus tetap bersikap profesional pada pekerjaannya. Dewangga menghembuskan nafasnya. Ia harus mengesampingkan perasaannya dahulu.

            Seseorang menepuk bahu Dewangga, ia pun menoleh dan melihat Janis sudah ada dibelakangnya.
            “Gimana Ngga?” Janis menanyakan hasil pekerjaannya.
            “Bagus-bagus dong mbak,” jawab Dewangga sembari terkekeh.

            Janis memandang Dewangga secara seksama. Dewangga jengah merasakan pandangan saudaranya yang cukup intens padanya.

            “Ada apa antara kamu sama Riani?”

            Dewangga kaget mendengar pertanyaan Janis. Ia tidak menyangka bahwa saudaranya itu merasakan sesuatu antara ia dan Riani.

            “Ya nggak ada apa-apa mbak,” sahutnya pelan.

            Janis memutar matanya mendengar jawaban Dewangga.

            “Nggak usah bohong deh Ngga. Aku lihat sendiri kok sikap kamu sama Riani. Sikap Riani yang berusaha menjauhi kamu kayak kamu itu virus penyakit. Pandangan mata kamu kalau melihat dia kayak orang buta yang akhirnya bisa melihat matahari lagi.”

            Angga terdiam. Mungkin menutupi perasaannya pada Riani memang mustahil. Ia menarik nafas perlahan.

            “Ceritanya panjang mbak. Nanti kapan-kapan aku cerita. Ini kan aku lagi kerja mbak, masak aku makan gaji buta kalau malahan curhat sama mbak. Hehehe,” Angga berusaha menutupi kegugupannya dengan tertawa pelan. Ia takut bagaimana reaksi Janis bila mendengar ceritanya.

            “Oke, nanti aja kamu cerita sama mbak. Tapi janji kamu harus segera cerita. Sekarang kerja dulu sana yang rajin. Awas kalau hasilnya jelek,” ujar Janis sembari berjalan menjauhi Dewangga.

            Dewangga mengambil ponselnya. Menghubungi sahabat terdekatnya.

            “Halo, Shana, bisa ketemu nanti malem?” tanyanya pada seseorang yang ia hubungi.

**

            Riani berusaha mengatur nafasnya. Ia berusaha memelankan debaran jantungnya. Dewangga tidak berubah. Tetap memesonanya. Lagi-lagi Riani tertawan dalam sorot mata tajamnya. Bertahun-tahun ia berharap akan bertemu dengannya lagi. Namun bertahun-tahun pula ia berdoa agar tidak dipertemukan lagi dengan Dewangga. Riani tidak habis pikir, bagaimana bisa ia tetap mencintai seseorang yang begitu ia benci. 

Part-5

Senin, 18 Agustus 2014

Goresan Luka Hati- 5

               Acara pentas seni tahunan di SLB Bhakti Bangsa akan segera diselenggarakan. Setiap tahunnya, para siswa akan menunjukkan segala kebolehan mereka. Acara ini dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan diri bagi semua siswa.
            Sejak pagi Riani sudah sibuk mengatur auditorium menjadi panggung yang istimewa bagi siswa-siswanya. Semua anak-anak secara bergantian akan menjadi pengisi acara tahunan itu. Riani melihat Bu Janis sedang sibuk dengan ponselnya, ia seperti sedang kebingungan. Riani pun menghampirinya, mencari tahu hal yang merisaukan Bu Janis.
            “Ada apa Bu?” Riani bertanya setelah Bu Janis menutup ponselnya.
            “Fotografer langganan kita tiba-tiba membatalkan janjinya, jadi tadi saya kebingungan harus mencari fotografer di mana, Riani.”
            “Lalu sekarang bagaimana Bu? Sudah dapat?”
            “Untungnya sudah, Ri. Ibu baru ingat kalau ibu punya saudara yang jadi fotografer. Tadi ibu sudah menghubunginya, dan dia bersedia. Kira-kira satu jam lagi dia akan sampai di sini,” ujar Janis sembari tersenyum.

**
            Dewangga baru saja selesai berolahraga ketika ponselnya berbunyi. Ia mengambilnya dan mengerutkan kening melihat nama seseorang yang menghubunginya.
            “Halo Mbak Janis,” sapa Dewangga.
            “Angga, kamu sekarang masih dirumah kan?”
            “Masih Mbak, kenapa?”
            “Angga, tolongin Mbak dong. Di sekolah Mbak mau ada acara pentas seni, tolong kamu jadi fotografernya ya,” pinta Janis.
            “Wah, nyewa aku biayanya mahal lho mbak,” sahut Angga terkekeh.
            “Biaya berapapun mbak bayar deh, yang pasti satu jam lagi kamu harus udah sampai di sini.”
            “Satu jam? Ini aku belum mandi mbak, lagian jarak rumah ke sekolahnya mbak lumayan jauh lho.”
            “Pokoknya satu jam lagi, titik.”
            Angga mendengar Janis menutup teleponnya seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tertawa melihat sikap Janis yang tetap sama seperti dulu. Memang sebagian besar keluarganya adalah seseorang yang senang memaksa orang lain menuruti kehendaknya.

**
            Angga sedang berjalan memasuki gedung SLB Bhakti Bangsa dan ia terkagum-kagum melihat sekolah yang didirikan saudaranya itu berhasil berkembang secara pesat. Mbak Janis benar-benar berusaha menciptakan suasana yang sangat nyaman bagi murid-muridnya.
Suasana sekolah terasa sangat nyaman dengan banyaknya pepohonan yang tumbuh dan dipelihara secara rapi di sekelilingnya. Ada beberapa gazebo mengelilingi air mancur di taman sekolah. Belum lagi beraneka ragam bunga menambah keindahan sekolah itu.
            Dewangga tertegun, melihat sesosok wanita yang sedang berjalan ke arahnya sembari membaca buku yang ia pegang dengan serius, seperti tidak memperhatikan kondisi sekitarnya. Ia tidak percaya dengan penglihatannya. Namun ia yakin, ia tidak akan pernah salah mengenali seseorang yang sudah bertahun-tahun ada di hatinya.
            Ia merasakan seperti ada jutaan pecahan kaca menghujam jantungnya ketika Riani berjalan melewatinya. Ia kehilangan nafasnya. Waktu serasa berhenti. Atau setidaknya ia ingin waktu berhenti cukup lama. Dewangga mengepalkan tangannya, mencoba menahan keinginannya menarik tangan Riani.

**
            Riani menghentikan langkahnya. Ia memperhatikan lelaki yang sedang berdiri di hadapan Bu Janis. Ia merasa seperti mengenal sosok yang ia lihat itu seumur hidupnya. Riani menggelengkan kepalanya, berusaha menghapus ingatan tentang seseorang.
            “Riani. Ke sini sayang,” Janis meminta Riani menghampirinya.
            Riani mendekatinya sedikit ragu. Ia merasakan sosok lelaki itu seperti menegang. Perlahan-lahan lelaki itu membalikkan badannya, menghadap Riani.
            “Riani, kenalin ini Dewangga, saudaraku tersayang yang akan jadi fotografer kita,” Janis memperkenalkan tamunya pada Riani.



Part-4
Part-6 

Goresan Luka Hati- 4

Sudah beberapa waktu, teman-teman Riani sesama guru mulai menggodanya. Mereka menanyakan hubungannya dengan Ian. Riani hanya menanggapi dengan tersenyum. Ia memang hanya menganggap Ian sebagai teman baru yang kebetulan juga ayah muridnya.

Riani mengakui bahwa Ian memang seorang pria yang akan menjadi idaman banyak wanita. Sikapnya yang sedikit dingin, tetapi akan berubah hangat bila bersama Kevin, dengan pembawaan yang tenang akan membuat banyak wanita bertekuk lutut untuknya. Namun, Riani bukan salah satu dari wanita-wanita itu.

Ia dengan halus berusaha meminta Ian untuk tidak lagi menuruti permintaan Kevin dengan mengantar jemputnya lagi. Ian pun memakluminya. Ian mengerti bahwa Riani tidak ingin merasa sungkan dengan teman-temannya.

Ian selalu terpesona untuk semua hal tentang Riani. Baginya, Riani adalah pribadi yang sangat unik dan spesial. Ia pun tahu bagaimana dalamnya rasa sayang Kevin untuk Riani. Semenjak kematian Kinan, istrinya, ia tidak pernah terpikir untuk mencari ibu baru untuk Kevin. Apalagi Kevin bukanlah anak yang mudah untuk dekat dengan seseorang yang baru dikenalnya.

Ting tong

Lamunannya terhenti mendengar suara bel rumahnya. Ia mendengar tawa mamanya ketika membukakan pintu.  Ia mengernyit, berjalan menuju pintu untuk melihat siapa tamunya.

“Mas Ian,” Dewangga berseru sembari memeluk Ian.

“Kamu itu, sampe di Indonesia, yang ditelepon bukan Mas atau Mama, tapi malah Pak Anto,gerutu Ian.

Dewangga tertawa pelan. “Wah Pak Anto ini, udah dibilangin jangan bilang Mas dulu, tapi malah langsung bilang.”

“Dasar kamu, Ngga. Mama sampe bingung, tapi Masmu bilang mama pura-pura nggak tahu aja. Katanya nanti juga kamu bakal pulang sendiri,” Mama mencubit lengan Dewangga pelan.

Dewangga terkekeh memandang mama dan kakaknya, ia memang merasa bersalah tidak langsung pulang setibanya di Semarang. Dewangga bekerja sebagai fotografer profesional. Ia sering berkeliling pelosok dunia untuk mencari obyek unik untuk difoto. Tidak jarang hasil jepretannya masuk ke majalah-majalah internasional.

**

             Dewangga memandangi foto-foto Riani dalam laptopnya. Ia suka memotret Riani diam-diam ketika mereka masih satu sekolah. Dewangga membandingkan foto wajah Riani dulu dan foto yang baru ia ambil beberapa hari lalu di depan rumah Riani. Wajah Riani memang tidak terlalu banyak berubah, tetap hanya dengan polesan kosmetik yang sangat tipis, tetapi sanggup menambah pesona wajahnya tanpa terlihat berlebihan.
        
           Suara ketukan pelan terdengar dari luar pintunya. Ia berjalan untuk membukakan pintunya dan melihat Ian yang ada di balik pintu.
          
            “Ngga, kita makan malam di luar, untuk menyambut kepulangan kamu.”

            “Besok aja mas, aku udah ngantuk nih,gerutu Angga.

            “Sepuluh menit lagi kita berangkat,” ucap Ian sembari berjalan menjauhi kamar Dewangga.

           Dewangga menggeleng-gelengkan kepalanya. Ian tetap Ian yang seperti dulu. Ian yang kaku dan suka memaksakan kehendaknya, tetapi kakaknya adalah seorang yang berjuang demi keluarga yang dicintainya. Ian harus mengambil alih perusahaannya di usia yang sangat muda ketika ayah mereka meninggal dunia. Itulah yang menyebabkan Ian seringkali bersikap kaku dan keras. Padahal dulu Ian juga pribadi yang hangat dan menyenangkan. Sekarang ia hanya sanggup bersikap hangat pada orang-orang yang ia sayangi.

**

            Riani melihat mobil sport berwarna putih terparkir didepan rumahnya. Ia tersenyum, sudah lama ia tidak bertemu Ishana, satu-satunya sahabat yang ia miliki. Tiba-tiba seseorang berlari dan memeluknya erat.

            “Riani, ternyata aku kangen banget sama kamu,ucap Ishana.

            “Hahahaha, kamu sih liburan kelamaan.”

            “Liburan apaan. Itu kerja Riani, kerja rodi malah,sungut Ishana.

            Riani tertawa melihat sikap Ishana. Ishana seperti saudara perempuan yang tidak pernah dimilikinya. Mereka mulai dekat ketika Riani pindah sekolah ke sekolah Ishana. Saat itu mereka sudah kelas 2 SMA.

            Ishana tidak pernah menyerah untuk mendekati Riani walau sekeras apapun Riani berusaha menjauh. Ia adalah satu-satunya teman yang membelanya ketika teman-teman mereka melakukan hal-hal yang buruk pada Riani. Ishana dan Riani, sepasang sahabat dengan kepribadian yang sangat bertolak belakang.



Part-3
Part-5