Sabtu, 27 Juli 2013

PILIHAN HATI

“Aduh, mau pulang kok malah panas banget sih,” keluh Kendra pada Ergi, pacarnya.
“Namanya siang hari pasti panas lah Ken, nanti kalo hujan kamu malah tambah bingung.” Ucap Ergi.
“Ya tapi kan biasanya gak sepanas ini, Gi. “
“Kok tumben sih kamu cerewet gini? Kamu lagi dapet, Ken? Hehehe.”
“Ih apaan sih Gi. “ Ucap Kendra sambil mencubit pipi Ergi.

Kendra dan Ergi awalnya adalah sahabat sejak kecil. Namun, lambat laun mereka menyadari perasaan mereka lebih dari sekedar sahabat. Dimana ada Kendra, pasti ada Ergi. Begitu pun sebaliknya. Walalupun Ergi tidak pernah menyatakan perasaannya secara romantis, Kendra tahu bahwa di hati Ergi, hanya ada Kendra.

***

“Eh itu wali kelas baru kita, Ken.” Ucap Sesha.
“Loh kok masih muda ya, Sha?”
“Iya, cakep lagi. Hehehehe. “ Ujar Sesha.

 “Selamat pagi anak-anak. Nama saya Angga Bayu Wicaksono. Kalian dapat memanggil saya Pak Angga. Saya memang wali kelas kalian. Namun, saya berharap kita bisa menjadi teman.”

Kuperhatikan wajah Pak Angga. Terlihat begitu muda dan tampan. Wajahnya yang putih terlihat begitu segar. Tiba-tiba Pak Angga melihat ke arahku. Aku pun langsung menunduk secara spontan. Entah kenapa hatiku begitu berdebar-debar.

“Saya ingin kalian memperkenalkan diri kalian. Mulai dari yang di pojok sana ya.” Ucap Pak Angga.

Aku tergagap. “Er, nama saya Kendra, Pak.” Ucapku. Kulirik wajah Pak Angga. Kulihat dia tersenyum padaku. Manis sekali.

***

Ini adalah hari pertamaku mengajar di SMA Bina Indonesia. Tidak kuduga, aku langsung menjadi wali kelas XII. Sejak masuk kelas, dia sudah menyita perhatianku. Tubuhnya yang semampai. Wajahnya yang manis. Entah kenapa dia selalu membuatku ingin memperhatikannya. Kulihat dia merupakan anak yang pintar juga.  Ah ya, tapi dia adalah muridku. Aku tidak mungkin mendekatinya untuk menjalin hubungan yang lebih dari guru dan murid.

***

“Gi, menurut kamu, Pak Angga gimana?”Tanya Kendra pada Ergi.
“Mm, gimana apanya?”
“Ya menurut kamu, orangnya gimana?”

“Biasa aja tuh. Caranya mengajar lumayan enak. Kenapa kamu nanya tentang Pak Angga, Ken? Jangan bilang kamu naksir Pak Angga. Aku jitak kamu nanti.” Gerutu Ergi.
“Idih, gak lah Gi. Kan aku udah punya kamu, hehehehe.”Balas Kendra.

Yah, kalau sekedar mengagumi, tidak masalah kan. Lagi pula dia adalah guruku. Ucap Kendra dalam hati.

***
“Eh Ken, Pak Angga kok ngeliatin ke arah sini terus ya? Jangan-jangan dia lagi ngeliatin kamu tuh.” Ucap Sesha.
“Masak sih Sha?”
Iya, itu lihat deh. Tuh kan Pak Angga melirik kearah kita lagi.”
“Heh, apaan sih Sha. Pak Angga gak boleh dong ngeliatin Kendra. Masak pacar orang diliatin terus. Huh.”Ujar Ergi.

“Beneran Gi. Aku sering kok lihat Pak Angga memperhatikan Kendra.”
“Awas aja kalau dia berani naksir Kendra.”
“Udah-udah. Kalian itu apaan sih. Gak mungkin lah Sha Pak Angga ngeliatin aku. Kamu juga Gi, Pak Angga kan guru kita. Aneh-aneh aja deh. Udah ah, gak usah ngomongin beginian.”Ucapku.

Tidak kupungkiri, hatiku senang mendengar ucapan Sesha. Aku pun menyadari bahwa Pak Angga sering mencuri-curi pandang padaku. Bahkan sikapnya pun berbeda padaku. Beliau seperti lebih lembut apabila berbicara kepadaku bila dibandingkan dengan teman-teman yang lain.

Pak Angga adalah guru yang sabar dan lembut. Beliau tidak pernah memperlihatkan kemarahannya kepada kami, murid-muridnya. Apabila kami masih belum mengerti penjelasannya, Pak Angga akan mengulanginya lagi sampai kami semua benar-benar mengerti.

Aku tidak memungkiri. Saat ini perasaanku mulai terbagi dua antara Pak Angga dan Ergi. Namun, aku tidak bisa menilai, siapa yang lebih aku sukai.

Ergi adalah segalanya bagiku. Aku sangat menyayanginya. Namun, gaya bicaranya yang slengekan sangat kontras bila dibandingkan dengan Pak Angga. Hampir setiap hari aku bertengkar dengan Ergi. Menurut Ergi, aku adalah orang yang mudah tersinggung. Sehingga dia senang sekali menggodaku agar aku marah padanya. Ergi adalah orang yang lebih suka menunjukkan perasaannya dengan sikapnya. Bukan dengan kata-kata. Kadangkala aku ingin merasakan suasana yang romantis dengannya. Namun, hingga saat ini selalu gagal. Kami lebih nyaman berbagi perhatian dengan pertengkaran-pertengkaran kami.

***
Hari demi hari berlalu dengan sangat cepat. Tidak terasa sudah enam bulan aku menjadi guru SMA.  Dua bulan lagi murid-muridku akan menjalani Ujian Nasional untuk kelulusan mereka. Setelah mereka lulus dari sekolah itu, dia sudah bukan muridku lagi. Aku sudah bisa bebas untuk mendekatinya.
Aku tahu dia sudah memiliki seorang kekasih. Seseorang yang sudah mengenalnya sejak masih kecil. Namun, baru kali ini aku merasakan perasaan seperti ini pada seseorang. Terhadap mantan kekasihku pun aku tidak pernah merasakan hal seperti ini.
Biar nantinya dia yang memutuskan. Memilih aku atau kekasihnya itu. Yang penting aku sudah berusaha sekuat tenagaku.

***
“Kendra, tumben kamu sendirian. Mana Ergi?” tanya Pak Angga pada Kendra.
“Ergi masih ada rapat OSIS, Pak.”
“Oh, begitu. Kudengar kamu dan Ergi berpacaran ya?”tanya Pak Angga lagi.

Kendra terdiam. Kalau dia menjawab mereka berpacaran, bisa-bisa peluangnya untuk dekat dengan Pak Angga semakin kecil.

“Iya Pak. Kita kan deket dari kecil. Malah sekarang jadi pacaran deh. Hehehe.” Jawab Kendra
Angga termenung. Bisakah nanti dia mendapatkan hati pujaannya .

“Padahal kalau Bapak lihat, sifat kalian itu beda banget ya. Bapak salut kalian bisa selalu bersama hingga saat ini.”
“Ya gitu sih Pak. Lebih sering berantemnya kalau sama Ergi. Dia kan orangnya gak mau kalah. Eh, kok saya jadi curhat sama Bapak. Maaf ya Pak.”
“Ah tidak apa-apa. Kan saya memang ingin dekat dengan murid-murid saya. Kamu gak pulang? Atau menunggu Ergi?”
“Tadinya mau nunggu Ergi Pak, tapi kayaknya dia masih lama. Jadi aku pulang sendiri.”
“Bagaimana bila Bapak mengantar kamu pulang sekalian. Daripada kamu naik bus. “
“Tidak usah Pak. Malah nanti saya menyusahkan Bapak.”
“Nggak papa kok. Kebetulan saya mau ke daerah rumah kamu.”
“Loh, Bapak tahu rumah saya?”
“Iya dong, Bapak tahu semua daerah rumah murid-murid Bapak. Rumah kamu dan rumah Ergi bersebelahan?”
“Iya Pak. Karena itu saya dan dia dekat sejak kami kecil.”

Angga dan Kendra tidak menyadari ada sepasang mata yang mengawasi mereka. Sepasang mata yang mengawasi Kendra masuk ke dalam mobil Angga.

***

“Ken, kemarin kamu diantar Pak Angga ya?”tanya Ergi.
“Iya Gi. Maaf ya aku gak nungguin kamu.”
“Gak papa sayang.” Ucap Ergi sambil mengecup dahi Kendra.
“Ih, kok tumben sih manggilnya sayang-sayang. Nyium-nyium lagi.”
“Kan aku memang sayang sama kamu Ken. Lagian kamu juga pacar aku. Nggak apa-apa dong sekali-sekali manggil sayang. Katanya kamu pengen aku romantis.”
“Hehehehe, iya Gi. Panggil sayang lagi dong.” Ucap Kendra sambil terkekeh.
“Eh dasar malah kesenengan. Gak mau sering-sering ah manggil sayangnya.”

Huh, Ergi memang menyebalkan. Aku tahu kami memang susah untuk mengucapkan rasa sayang seperti itu. 
Selalu ada rasa malu yang besar bila ingin mengungkapkan perasaanku padanya.

“Gi, kamu kok gak cakep kayak Pak Angga sih?”
“Enak aja. Cakepan aku dong kalo sama Pak Angga.”
“Nggak ah. Cakepan Pak Angga banget.”
“Awas ya Ken kalau sampe kamu naksir Pak Angga.” Ancam Ergi.

Kendra meringis. Sudah dua kali Ergi mengatakan seperti itu padanya. Pak Angga begitu perhatian padanya. Berbeda sekali dengan Ergi.

**

Tidak terasa sudah sebulan mereka lulus dari SMA Bina Indonesia. Sudah sebulan juga dia tidak bertemu belahan jiwanya. Saatnya dia memulai perjuangannya untuk mendapatkan cinta dari pujaannya.

**
“Selamat malam. Benar ini nomernya Ergi?”

Ergi mengeryit. Dia tidak mengenali nomer yang mengiriminya pesan itu.

“Benar. Maaf ini siapa?”

Setelah lama menunggu, ponselnya berbunyi lagi.

“Ini Angga. Wali kelas kamu dulu.”

Ergi kebingungan. Untuk apa Pak Angga mengiriminya pesan.

***

Sore ini Kendra pergi dengan Sesha. Mereka janjian untuk menonton bioskop bersama-sama. Sebenarnya mereka akan pergi bertiga dengan Ergi. Namun, Ergi akan menyusul mereka.

“Sha, sekarang Pak Angga gak pernah deh telepon atau sms aku.”
“Memangnya dulu sering, Ken?”
“Iya, hampir setiap hari.”
“Kamu pernah nyoba kirim sms dulu ke Pak Angga?”
“Pernah sih Sha, tapi nggak dibales.”
“Ya udah lah Ken, mungkin Pak Angga lagi sibuk. Eh itu Ergi datang.”

“Hei Sha, gimana kabar kamu? Ternyata udah lama juga ya kita gak ketemu?” Ujar Ergi.
“Kamu sombong sih Gi. Sok sibuk. Kamu kok sekarang tambah keren gini Gi. Mentang-mentang udah anak kuliahan.”
“Hahaha, dari dulu sih aku selalu keren, Sha. Iya kan sayang?” tanya Ergi pada Kendra.
“Ih, siapa yang keren. Kerenan juga Pak Angga. Hahaha.” Tawa Kendra.
“Kamu itu, udah lulus juga masih aja keinget sama Pak Angga.”

Kendra hanya tertawa. Baginya Pak Angga tetap laki-laki terkeren yang pernah dia kenal. Sekarang dia menyadari bahwa perasaanya pada Pak Angga hanya sekedar mengagumi. Tidak lebih.

Tiba-tiba ponsel Ergi berbunyi, menandakan ada pesan yang masuk.

“Hei Ergi, lagi ngapain? Udah makan belum?”

“Hayo, pesan dari siapa? Kamu udah mulai macem-macem sama aku ya?” Gerutu Kendra sambil menjewer telinga Ergi.

“Aduh, sakit Ken.”
“Loh Gi, kok namanya Pak Angga?”tanya Sesha.

Ergi pun mulai menceritakan tentang pesan dari Pak Angga pada Kendra dan Sesha.

“Kira-kira semingguan ini sih, Pak Angga sering banget sms aku. Dari yang nanya udah makan atau belum, lagi apa, lagi dimana. Macem-macem deh. Dia juga gak mau aku panggil Pak. Dia minta aku manggil dia Kakak.”

“Terus, kamu bales terus gak Gi?”tanya Sesha.
“Ya aku bales lah Sha. Kok Pak Angga aneh banget ya Sha.”

Kendra pun terbengong-bengong. Kenapa Pak Angga begitu perhatian pada Ergi.

“Err, jangan-jangan Pak Angga naksir kamu tuh Gi.”
“Eh yang bener dong Sha. Jangan mikir aneh-aneh.”
“Ken, jangan-jangan dulu waktu aku kira Pak Angga sering curi-curi pandang sama kamu, ternyata yang diliatin Pak Angga itu Ergi.”
“Bener juga ya Sha. Ahh tapi aku gak terima.” Sesal Kendra.
“Kalian itu ngomong apaan sih. Ngebuat orang takut.” Ujar Ergi.
“Gini aja deh Gi, mulai sekarang kamu nggak perlu bales pesan-pesan dari Pak Angga. Kecuali kalau memang penting, baru deh kamu balas.” Ucap Sesha.

Kendra termenung. Jadi selama ini, hanya dia yang merasa kegeeran. Semua pandangan, tatapan mata, perhatian, sebenarnya untuk Ergi. Kendra merasa malu sekali.

“Lagi sibuk ya Gi? Kok smsnya kakak nggak dibales?”

Kendra menatap ponsel Ergi. Bahkan pesan dari Pak Angga untuk Ergi terasa lebih pribadi daripada untuknya dulu.

Arghhh...

**
Akhirnya aku mendapatkan kontrakan rumah di depan rumah Ergi. Dengan begini aku bisa melihatnya setiap hari.

**

Kendra memarkir sepedanya. Dia ingin menenangkan pikirannya. Dia benar-benar tidak menyangka Pak Angga bisa bersikap seperti itu pada Ergi.

Tiba-tiba seseorang memanggilnya.
“Kendra, kamu juga lagi olahraga?

Astaga, Pak Angga. Kenapa Pak Angga ada di sini.
“Pak Angga, kok bisa ada disini Pak?”
“Iya, sekarang kan saya mengontrak rumah di dekat rumah kamu Ken. Sekarang saya mengajar di SMA Mulia yang ada di dekat sini.”

Kendra ternganga. Dia harus segera mengabarkan ini pada Sesha dan Ergi.

**
Ergi baru saja sampai di rumahnya ketika dia mendengar suara tawa dari ruang tamunya. Dia segera memarkirkan motornya.

“Ah, itu Ergi sudah pulang.” Ucap Mama Ergi, Lia.
“Malem Ma, Pa.” Sahut Ergi.

Ketika Ergi melihat ke arah tamunya, dia kaget. Bagaimana bisa Pak Angga ada dirumahnya?

“Pak Angga, kok Bapak bisa dirumah saya?”tanya Ergi.
Pak Angga hanya tersenyum.
“Mulai rabu kemarin, Pak Angga pindah rumah di seberang rumah kita, karena sekarang Pak Angga mengajar di SMA Mulia.” Jelas Danu, ayah Ergi.
“Iya Gi, sekarang saya jadi tetangga kamu dan Kendra juga.” Ucap Pak Angga sambil tersenyum.
“Oh, begitu ya Pak. Ya sudah Pak, saya permisi dulu. Aku ke kamar dulu ya Ma, Pa.”

Sesampainya di kamar, Ergi segera menghubungi Kendra. Ergi tidak habis pikir, dia mulai merasa takut akan sikap Pak Angga padanya.

“Halo Gi,” Sahut Kendra.
“Ken, kamu pasti gak menyangka siapa yang sedang ada di rumahku.”
“Hm, Pak Angga ya Gi? Tadi pagi aku bertemu Pak Angga ketika aku sedang bersepeda. Dia bilang sekarang dia tinggal di depan rumah kita.”
“Kenapa kamu nggak ngasih tahu aku, Ken?”
“Tadinya aku mau secepatnya menghubungi kamu, Gi. Tapi mama memintaku untuk membantu mama membuat kue kering. Aku jadi lupa untuk menghubungi kamu.”
“Sekarang aku harus gimana Ken?” tanya Ergi.
“Aku juga bingung Gi.”

**
Kendra mulai merasa jengah akan sikap Pak Angga. Setiap malam, Pak Angga selalu datang ke rumah Ergi. Apabila Ergi dan Kendra pergi pun, pasti Pak Angga bisa menemukan mereka. Belum lagi sms-sms dari Pak Angga yang semakin berani menunjukkan perhatiannya pada Ergi.

Dia tahu Ergi hanya berusaha mempertahankan kesopanannya pada Pak Angga. Bagaimana pun juga, dulu Pak Angga adalah gurunya.

Sebenarnya satu-satunya solusi adalah Ergi harus dapat bersikap tegas pada  Pak Angga. Sebentar lagi dia dan Ergi akan bertunangan. Dia tidak dapat membayangkan hubungannya dengan Ergi apabila Pak Angga selalu berusaha ada diantara mereka.

**
Siang ini Ergi janjian untuk pergi dengan Sesha. Ergi membutuhkan solusi dari sahabatnya itu untuk menghadapi masalahnya. Dia tahu, dia tidak bisa terus-terusan mendiamkan perilaku dari Pak Angga. Itu hanya akan menyebabkan hubungannya dengan Kendra menjadi tidak stabil. Ergi sangat mencintai Kendra. Setelah bertahun-tahun menjalin hubungan dengan Kendra, Ergi semakin yakin bahwa Kendra adalah wanita yang dia inginkan menjadi pendamping hidupnya.

“Hai Gi. Tumben kamu ngajak aku makan siang. Kendra mana?”
“Kendra lagi kuliah. Begini Sha, aku membutuhkan nasihat kamu.”
“Tentang apa gi?”

Ergi segera menceritakan tentang Pak Angga. Sikap Pak Angga yang begitu intens mendekatinya dan keluarganya. Mama dan papanya tidak menyadari motif tersembunyi dari Pak Angga. Dia tidak mungkin menceritakan hal itu pada orang tuanya.

“Menurut aku, kamu harus bersikap tegas pada Pak Angga. Kamu harus tanyakan maksud Pak Angga. Kenapa dia bersikap seperti itu padamu . Kasihan Kendra, Gi.”

**
Malamnya, seperti biasa Pak Angga mengiriminya pesan.

“Malem Ergi. Kamu sudah makan malam? Kalau belum, Kakak mau mengajak kamu ke tempat yang istimewa.”

Ergi berpikir mungkin ini kesempatannya untuk meminta Pak Angga menjauhinya.

“Boleh Pak. Kebetulan ada sesuatu yang ingin saya bicarakan dengan Bapak.”

Angga sangat terkejut dan senang Ergi menerima tawarannya untuk makan malam bersamanya. Sepertinya impiannya akan segera terwujud.

“15 menit lagi Kakak menjemput kamu dirumah ya. Jangan lupa dandan yang cakep ya. Hehehe.”

Ergi tidak menyangka Pak Angga begitu antusias dengan pertemuan ini.

“Tidak perlu Pak, nanti kita langsung ketemu saja di tempat makannya. “

Hmm, Ergi masih malu-malu, pikir Angga. Tidak masalah. Yang penting malam ini dia akan menikmati makan malam bersama pujaan hatinya.

“Oke, jam 8 di Orange Cafe ya. Tunggu kakak di sana ya.”

Ergi menghela nafas. Dia segera memencet tombol nomer telepon Kendra.
“Halo Gi.” Sahut Kendra.
“Sayang, malam ini aku akan pergi dengan Pak Angga. Aku akan memintanya berhenti mendekatiku. Aku tidak ingin kehadirannya mengganggu hubungan kita, Ken.”
“Hm, terserah kamu saja Gi. Kamu hati-hati ya. Jangan sampai kena rayuannya. Hehehe.”
“Apaan sih Ken. Bukannya ngedoain aku, kamu malah nakut-nakutin aku.”
“Hahahaha. Bercanda sayang. Aku percaya kamu kok.”

**
Malam ini Orange Cafe ramai sekali. Orange cafe merupakan cafe yang terkenal di kota ini. Makanannya yang lezat, tempatnya yang nyaman membuat banyak orang yang tertarik untuk datang kesana.
Ergi melihat sekeliling. Mencari-cari sosok Pak Angga. Dilihatnya Pak Angga duduk di bagian samping cafe itu. Ergi pun segera menghampirinya.

“Hei Gi, kamu mau pesan apa?”
“Apa saja Pak.”
“Kan kakak sudah bilang, jangan panggil aku Bapak lagi.” Ucap Angga sambil mengelus tangan Ergi.

Ergi segera menurunkan tangannya dari meja. Dipandanginya wajah Pak Angga. Benar kata Kendra. Pak Angga merupakan orang yang tampan. Wajahnya putih bersih. Belum lagi badannya yang tinggi dan atletis. Pantas saja dulu Kendra sempat sangat mengagumi Pak Angga hingga membuatnya cemburu.
Ergi tidak habis pikir, laki-laki seperti Pak Angga bisa tidak menyukai wanita. Ergi yakin pasti banyak wanita yang menyukai Pak Angga.

“Kenapa Gi,  wajah saya ada yang aneh?” tanya Angga.
“Ah tidak Pak.” Sahut Ergi.
 “Suasana di sini romantis ya Gi. Sangat cocok untuk pasangan yang sedang jatuh cinta. Seperti kita.”

Ergi melongo mendengar perkataan Angga.
“Sebenarnya saya datang ke sini karena ingin menanyakan sesuatu Pak.”
“Kalau kamu masih memanggil saya Pak, saya tidak mau menjawab pertanyaan kamu.” Ucap Angga sambil tersenyum.

Ergi menghela napasnya.
“Begini Pak, eh Kak. Kenapa Kakak bersikap seperti ini pada saya? Kakak pindah rumah di depan rumah saya. Sering mengirimin pesan-pesan yang bersifat pribadi pada saya?” tanya Ergi.
“Karena saya mencintai kamu Gi.”
“Err, tapi saya dan Bapak sama-sama lelaki. Bagaimana bisa Bapak menyukai sesama jenis?”
“Sejak pertama kali saya melihat kamu, saya tidak bisa melupakan kamu. Sejak dulu saya sering diam-diam memperhatikan kamu. Saya mencoba mendekati Kendra agar saya juga bisa dekat dengan kamu. Tapi selama kamu menjadi murid saya, saya tidak bisa terang-terangan dalam mendekati kamu. Setelah kamu lulus, saya baru bisa menunjukkan perasaan saya pada kamu. Saat ini merupakan saat-saat yang paling saya tunggu dalam hidup saya Gi. Akhirnya saya bisa mendapatkan kamu.”Sahut Angga

“Saya sangat mencintai Kendra. Sejak kecil hingga sekarang, perasaan saya tidak pernah berubah. Impian saya adalah saya bisa menjadi suami yang baik bagi Kendra. Sikap Bapak yang seperti itu pada saya, hanya mengganggu hubungan saya denga Kendra. Secepatnya setelah saya lulus kuliah, saya akan menikahi Kendra. Saya mohon Bapak tidak mengganggu hubungan saya dengan Kendra lagi. Saya minta maaf tidak bisa membalas perasaan Bapak. Saya datang kesini untuk memberitahu Bapak akan hal itu. Saya harap Bapak secepatnya pindah dari rumah di depan rumah saya. Saya permisi dulu Pak. Sudah tidak ada lagi yang perlu saya bicarakan.” Ucap Ergi.

“Tunggu Gi, pasti kamu salah. Kamu adalah orang yang ditakdirkan untuk saya Gi.” Kata Angga sambil memegang tangan Ergi.

“Maafkan saya Pak. Saya menghormati Bapak karena Bapak dulu adalah guru saya. Tolong jangan buat saya kehilangan rasa hormat saya pada Bapak. Saya berharap Bapak bisa segera mendapatkan seseorang yang mencintai dan Bapak cintai melebihi saya. Saya permisi dulu.”

Angga hanya bisa terdiam melihat kepergian Ergi. Hatinya sakit serasa teriris-iris pisau yang sangat tajam. Sebenarnya dia sadar bahwa kemungkinannya untuk mendapatkan hati  Ergi memang sangat kecil. Dia tahu bagaimana perasaan Ergi pada Kendra. Begitu pula sebaiknya. Kendra merupakan gadis yang sangat baik. Sepertinya memang dia harus menghentikan segala usahanya untuk mendapatkan Ergi.

**

Keesokan harinya, Kendra sedang merasakan dilema yang besar.  Angga mengajaknya untuk makan siang bersamanya. Sebenarnya dia sedikit merasakan ketakutan. Namun, dia juga penasaran mengenai hal yang akan dibicarakan Angga.

Kendra segera turun dari mobilnya. Dia bergegas memasuki restoran cepat saji tempat dimana dia akan mengadakan pertemuan dengan Angga. Dilihatnya Angga sudah lebih dahulu tiba. Kendra segera menghampirinya.

“Selamat siang Pak. Maaf saya terlambat. Bapak sudah menunggu dari tadi?”tanya Kendra.
“Ah, tidak Ken. Saya juga baru saja tiba.”
“Ada hal apa yang ingin Bapak bicarakan dengan saya?” tanya Niken lugas.

Angga menarik napasnya. Sebenarnya dia sangat berat untuk mengambil keputusan ini.
“Saya mau minta maaf sama kamu, Ken. Selama ini saya sangat mengganggu kamu dan Ergi. Semalam Ergi meminta saya untuk menjauhi kehidupannya. Saya berpikir semalaman dan saya memutuskan untuk memenuhi permintaannya. Saya yakin dia akan lebih bahagia bersama kamu. Terus terang saya mencintai Ergi, Ken. Namun, saya rela untuk melepaskan Ergi untuk bersama kamu.”

Kendra terdiam. Dia bingung harus mengatakan apa pada Pak Angga. Pak Angga yang dikenalnya sangat terasa sangat berbeda dengan Pak Angga yang ada di depannya, yang secara lugas menyatakan cinta pada Ergi.

“Bapak tidak perlu meminta maaf pada saya. Menurut saya Bapak tidak salah bila berusaha mengejar cinta yang Bapak miliki. Saya hanya bisa berharap Bapak bisa segera menemukan seseorang yang mencintai dan Bapak cintai dengan setulus hati.” Ucap Kendra.
“Terima kasih, Ken. Saya berharap hal yang kemarin terjadi tidak membuat kamu merasa canggung dengan saya. Oh iya, kemarin Ergi mengatakan pada saya, bahwa setelah kalian lulus kuliah, kalian akan segera menikah. Jangan lupa untuk mengirimi undangan pada saya ya. Saya pasti akan datang di pernikahan kalian.” Sahut Angga.
“Iya Pak. Saya pasti akan mengirimkan undangan pernikahan saya dengan Ergi.”

**

TIGA TAHUN KEMUDIAN...

Akhirnya hari ini datang juga. Hari dimana aku menjadi istri sah Ergi. Menjadi seorang pengantin ternyata sangat melelahkan. Sebelum subuh tadi aku sudah harus dirias sesuai dengan adat daerahku karena akad nikahku dilaksanakan pada jam 8 pagi tadi. Baru sebentar beristirahat, aku sudah harus dirias lagi untuk acara resepsi di malam hari. Sahabat-sahabatku sudah berkumpul di rumahku dari kemarin. Pikiranku melayang pada waktu aku masih bersekolah di SMA Bina Indonesia. Saat-saat ketika pertama kali bertemu dengan Pak Angga. Sampai sekarang aku masih sering merasa geli karena sikapku dulu yang kegeeran pada Pak Angga. Sungguh tidak menyangka bahwa yang disukai oleh Pak Angga adalah Ergi, bukan aku. 

Tadi Pak Angga datang ke resepsiku bersama seorang laki-laki yang tidak kalah tampan darinya. Orang tuaku dan orangtua Ergi menyalami Pak Angga. Pak Angga mengenalkan lelaki yang datang bersama dengannya sebagai sepupunya. Aku dan Ergi berpandangan. Kami tahu lelaki itu bukanlah sepupu Pak Angga. Caranya menatap Pak Angga dengan penuh cinta dapat mencerminkan hatinya. 

Mami dan mama Ergi terlihat bersemangat ketika bersalaman dengan Pak Angga. Pak Angga memang seorang laki-laki yang sangat mudah menarik perhatian wanita dari segala umur. Bahkan keponakanku yang masih berumur delapan tahun terlihat malu-malu ketika menyalami Pak Angga.

Aku senang Pak Angga sudah menemukan seseorang yang mencintainya. Kupandangi wajah Ergi yang sekarang sudah menjadi suamiku. Aku bersyukur sekali bisa menikah dengan sahabat terbaikku. Kuharap rumah tanggaku dengan Ergi bisa berjalan dengan lancar. Bersama Ergi, aku yakin bisa menghadapi apapun yang akan terjadi di masa depan. Itu semua karena aku mencintainya.


TAMAT

Senin, 08 Juli 2013

DIANTARA DUA



Pagi ini lagi-lagi aku sukses membuat mama memarahiku. Hampir setiap hari aku susah bangun pagi. “Nggak kamu, nggak Livi, susah banget sih buat bangun. Kalau terlambat ke sekolah kan kalian sendiri yang susah.”omel mama kepadaku dan Livi, adikku. Mamaku adalah salah satu single parent yang sukses dalam membesarkan anak-anaknya. Ketika aku kecil, kedua orang tuaku berpisah. Sejak saat itu, hubunganku dengan mama menjadi sangat dekat daripada sebelumnya. Sesibuk-sibuknya mama, mama selalu berusaha untuk ada bagi anak-anaknya. Setiap hari mama selalu berusaha tahu semua kegiatanku dan Livi. Bagiku, mama adalah mama terbaik yang ada di dunia ini.

Mama selalu tahu siapa saja teman-temanku. Begitu pun dengan seseorang yang saat ini sedang dekat denganku, Aria.

“Pulang sekolah nanti kamu jadi ke toko buku sama Aria, Zie?”Tanya mama. “Jadi ma, nanti sekalian Aria mau ngajarin aku buat persiapan UN.”Sahutku. Saat ini aku duduk di kelas 3 SMA. Dalam hitungan bulan, aku akan mengikuti ujian nasional.

Aria adalah seorang laki-laki yang kukenal melalui temanku. Sekolahnya berdekatan dengan sekolahku. Kami berdua sama-sama sedang disibukkan dengan segala hal yang berhubungan dengan kelulusan. Dia bersekolah di SMK teknik terbaik di kotaku.

“Ya sudah kalau begitu. Hati-hati di jalan ya sayang.”Ucap mama. Aku pun bergegas untuk berangkat ke sekolah.

***
Setiap saat ketika pulang sekolah selalu menjadi saat-saat yang paling mendebarkan bagiku. Itu semua karena aku akan bertemu dengan Aria. Mengingatnya selalu membuat hatiku hangat. Dia adalah laki-laki pertama yang masuk ke dalam hatiku. Hingga aku kelas 3 SMA, baru kali ini aku berpacaran.

“Zie, kenapa sih kamu belum pacaran? tanya Devi, sahabatku.”Hehe, masih males aja Vi, ngebosenin.”sahutku sambil tertawa. “Haduh kamu itu, emangnya yang kamu suka itu yang kayak gimana?’’tanyanya lagi. “Mmm, gimana ya. Aku pengen punya pacar yang bisa dewasa kalau aku lagi kekanak-kanakan, tapi juga bisa manja sama aku kalo aku lagi dewasa. Yang paling penting, pinter main gitar, jadi dia bisa ngegitar sambil nyanyiin lagu buat aku, hahahaha”. Ucapku. 

Semua kriteria tersebut sangat sesuai dengan Aria.

****
Hari ini adalah hari kelulusanku. Pagi-pagi aku sudah menerima surat yang menyatakan kelulusanku. Sayangnya hari ini mama sedang berada di luar kota. Namun demikian mama sudah kukabari menengenai kelulusanku. 

Saat ini aku sedang berada di sekolah untuk mengurus segala macam hal. Termasuk acara corat coret seragam bersama sahabat-sahabatku. Tiba-tiba handphoneku berbunyi, menandakan ada sms masuk. 

“Pagi Zie, kamu masih di sekolah ya? Doain aku, sebentar lagi aku mau ujian biar aku bisa masuk ke perusahaan otomotif itu. Hari ini aku mau ngelamar kerja, biar bisa secepatnya ngelamar kamu ya. Hehehe.”

Hatiku bergetar. Aku seorang gadis yang baru saja lulus SMA, dan baru saja ada seseorang yang menyatakan akan melamarku secepatnya. Aku memang memiliki impian untuk hanya berpacaran satu kali dan secepatnya menikah. Hal itu yang membuatku selalu setia padanya. Hingga bertahun-tahun kemudian.

Malamnya, mama sampai di rumah. “Gimana mbak? kok kayaknya lagi seneng banget. Ada yang belum diceritain ke mama ya?’tanya mama.

Aku pun segera menceritakan tentang sms Aria kepada mama. “Menurut mama, Aria baik nggak?”

“Ya baiklah. Kalau nggak baik, nggak mama bolehin buat pacaran sama kamu. Tadi pagi Aria sms mama, dia cerita kalau dia lagi ikut ujian buat masuk ke perusahaan itu.” kata mama.

Aria memang sering berhubungan dengan mama karena dari awal aku selalu menekankan padanya bahwa aku ingin kekasihku menyayangi mama seperti orang tuanya sendiri. Restu mama adalah segalanya bagiku.

***
Saat ini Aria sudah bekerja di suatu perusahaan otomotif di Bekasi. Namun setiap bulan dia selalu menyempatkan diri untuk pulang ke kota ini, untuk bertemu keluarganya, dan bertemu aku.

Jumat kemarin Aria pulang ke Semarang. Malam ini dia akan kembali ke Bekasi. Aku selalu menyempatkan waktu untuk mengantar Aria ke stasiun. Seperti malam ini. Mama ikut mengantar Aria. Ternyata disana kami bertemu dengan keluarga Aria. Aku sudah bertemu dengan seluruh keluarga ketika Aria akan berangkat ke Bekasi. Namun, ini merupakan pertemuan pertama kali bagi mama. Aku sudah meminta Aria untuk menceritakan tentang kondisi keluargaku pada orang tuanya. Tentang mamaku yang seorang single parent.

Ibu Aria mulai mengajak mama untuk mengobrol. Kuakui memang Ibu Aria adalah seseorang yang ceplas-ceplos dalam berbicara. Mama dan ibu mulai membicarakan tentang calon suami Mbak Ani, kakak Aria, yang saat ini sedang berada di Timur tengah.

“Kalau di Arab, janda itu gak laku Bu,”Ujar Ibu Aria. Aku pun kaget mendengarnya. Harusnya ibu sudah mengetahui bahwa mamaku adalah seorang single parent, seorang janda. Kenapa Ibu tega berbicara seperti itu pada mama. Mama pun hanya tersenyum mendengarnya.

***

Hari ini Aria memintaku untuk mengunjunginya. Aku pun menolaknya. Aku memang tidak diperbolehkan mama untuk pergi keluar kota hanya bersama laki-laki.
Namun ternyata, dia menghubungi mama secara langsung. Dia memintaku dan mama untuk datang ke Bekasi. Mama pun mengiyakannya. Memang selama beberapa lama menjalin hubungan dengan Aria, mama sudah menganggap Aria seperti anaknya sendiri.

***

Untuk menuju ke Bekasi, aku dan mama memanfaatkan kereta. Aku kagum sekali pada mama. Mama menyempatkan diri untuk menemaniku bertemu dengan Aria.

Sesampainya di Bekasi, kami akan dijemput oleh Saif, teman sekamar Aria. Kebetulan dia baru saja pulang dari kantornya sehingga dia bisa menjemputku sekaligus mengantarku ke penginapan di dekat tempat kos mereka.

Sepanjang perjalanan, mama bisa mengobrol secara akrab dengan Saif. Mama memang orang yang mudah akrab dengan siapapun. Sedikit berbeda denganku. Saif pun merupakan orang yang santai dan bisa dengan mudah akrab dengan mama.

Saif dan Aria memang memiliki jadwal shift yang berbeda. Aria seringkali masuk sift pagi. Sedangkan Saif seringkali masuk shift tengah malam.
Sehingga selama disana, Saif lah yang lebih sering menemani mama dan aku, terutama untuk sarapan dan makan siang. Apabila malam pun, kami selalu pergi berempat bersama Aria.

***
Sepulangnya dari Bekasi, ternyata mama mengenalkan Saif dengan Livi. Aku pun tidak ada masalah tentang hal itu. Menurutku Saif adalah orang yang baik. Bahkan mama pun mulai menganggap Saif sebagai anaknya. Saif mengatakan pada mama, dia ingin datang kerumah apabila dia sedang pulang ke Semarang. Memang banyak dari teman-temanku dan Livi yang sangat dekat dengan mama. Baik itu teman laki-laki, maupun teman perempuan. Mama selalu menganggap teman-temanku dan teman-teman Livi sebagai anaknya sendiri. Mereka pun sepertinya menganggap mama seperti orang tua angkatnya. Mereka bisa dengan terbuka untuk bercerita pada mama mengenai masalah-masalahnya. Semua teman-temanku pun dekat dengan Livi. Demikian pun teman-teman Livi.
Namun ternyata, tidak demikian dengan Aria.

Hari ini Aria sedang menelponku. Setiap hari ketika jam istirahat, dia memang selalu menelponku. “Mama sama Livi lagi apa sayang?” tanyanya. “Ini yang, mama lagi smsan sama mas Saif. Mama kan ngenalin Mas Saif sama Livi.” Ucapku.

“Maksudnya apa??Ngapain mama ngenalin Saif sama Livi?? Tanya Aria penuh kemarahan.
“Loh ya nggak papa. Kan temen-temenku itu memang semua kenal sama Livi. Mama nggak ada maksud apa-apa kok.” Ujarku.
“Denger ya Zie, aku nggak mau dan nggak seneng temenku berhubungan dekat sama keluarganya pacarku. Kamu inget itu!” Serunya. Aria mematikan teleponnya. 

Aku pun heran dengan sikapnya. Aku tidak menyangka dia akan bersikap seperti itu. Hatiku merasa sesak. Baru kali ini Aria bersikap seperti itu padaku.

Aku kebingungan harus bersikap seperti apa. Mama mengenalkan Livi pada Saif bukan karena ingin menjodohkan atau karena apapun seperti yang dipikirkan Aria.
Aku pun segera menceritakan soal itu pada mama. “Yaudah mbak, nanti biar mama telepon Aria. Mama yang akan menjelaskan pada Aria. Kamu tenang ya sayang.” Ujar mama.

***
Keesokan harinya Aria menghubungiku. Sepertinya dia sudah mulai mengontrol emosinya. Semalam mama sudah menghubunginya. Namun memang aku tidak mengetahui apa yang mama dan Aria bicarakan. Setiap aku menanyakannya pada mama, mama selalu mengelak.

“Pokoknya kemarin yang terakhir ya Zie. Jangan lagi-lagi mama sama Livi ada hubungan apa-apa sama Saif, atau temanku yang lainnya.” Ucap Aria.

Aku menghela napas. Menurutku, dia tidak berhak membatasi mama dan Livi seperti itu. Namun, mama bilang kepadaku untuk mengalah pada Aria.

***
Hubunganku dengan Aria pun sudah membaik. Aku tidak pernah membahas masalah Saif padanya. Namun tidak dapat kupungkiri, sikap mama mulai berubah terhadap Aria.

Mama mulai sering jarang berkomunikasi dengan Aria. Bila Aria datang pun, mama terlihat mulai malas untuk menemuinya.
Aku pernah menanyakannya pada mama. Namun mama selalu berkata tidak ada apa-apa. Mama hanya sedang capai jadi mama lebih memilih beristirahat di kamar.

***
Saat ini aku sudah mulai memasuki dunia kuliah dan aku bekerja paruh waktu untuk mulai belajar mencari uang sendiri.
Untungnya hal tersebut tidak terlalu berpengaruh bagi hubunganku dengan Aria.

Mungkin karena kami menjalani hubungan long distance, dia mulai over protective padaku.
Apalagi saat ini aku memiliki teman-teman baru dari kampus. Dia mulai sering melarangku untuk pergi bersama teman-temanku. Hampir setiap malam kami bertengkar. Selalu saja karena hal-hal sepele. Mama mulai melihat aku sering uring-uringan. Aku memang tidak bisa menyembunyikan sesuatu dari mama. Mama sering mendengarku bertengkar denga Aria.

Puncaknya malam ini, mama memergokiku sedang bertengkar dengan Aria.

Keesokan harinya mama menanyaiku tentang hubunganku dengan Aria, mengapa akhir-akhir ini kami sering bertengkar. Aku tidak mungkin menceritakan semuanya pada mama, karena aku tidak ingin mama memiliki pandangan yang negatif pada Aria.

Livi pernah bercerita padaku, mama mulai sering membicarakan tentang hubunganku dengan Aria. Mama tidak suka melihat anaknya sering menangis karena laki-laki. Aku menyadari bahwa aku harus membicarakan masalah Aria pada mama.

***

“Ma, lagi sibuk nggak?”tanyaku pada mama. “Nggak mbak, kenapa?”Jawab mama.
“Mmm, mama akhir-akhir ini kayaknya agak beda ya ma sama Aria. Kenapa ma?”
“Hmm, ya mama agak nggak suka aja sih mbak sikapnya Aria ke kamu. Kamu belum nikah sama dia aja, dia udah ngelarang-ngelarang kamu. Mau pergi sama mama aja pasti dia agak ngelarang.” Ujar mama.

Aku menghela napas.
“Mama masih setuju aku sama Aria? Kalau memang mama udah nggak setuju, aku ikhlas buat ngelepas dia ma.” Walaupun pasti hatiku hancur ma, sambungku dalam hati.
“Mama nggak akan ngelarang kamu, mbak. Kamu sudah besar. Sudah bisa mengambil keputusan sendiri, apa yang terbaik untuk kamu.” Sahut mama.

***
Kontrak Aria dengan perusahaannya akan berakhir. Rencananya, dia akan kembali ke Semarang dan mendaftar di perguruan tinggi. Dia telah mendaftar di kampus tempat aku berkuliah. Dia pun dapat diterima karena mendapatkan nilai tes yang tinggi.

Suatu ketika, dia mendengar ada pendaftaran penerimaan pegawai negeri di departemen keuangan, dimana setiap orang yang diterima akan disekolahkan terlebih dahulu.
Ketika dia meminta pertimbangan dari mama, mama pun mendukungnya untuk mencoba. Kebetulan masa kuliah belum dimulai. Jadi bila dia tidak lolos pun, dia masih bisa berkuliah di kampusku.

Untuk dapat lolos dari penerimaan pegawai negeri tersebut, dia harus melalui berbagai tes yang sulit. Kuakui, Aria merupakan orang yang cerdas dan beruntung. Seleksi demi seleksi dapat dia lalui dengan baik.

Hari ini adalah ulang tahunku. Tepat pada hari ini, Aria akan melakukan seleksi olahraga di stadion terbesar di Semarang. Aku pun datang untuk mendukungnya.Aria dapat menyelesaikan seleksi tersebut dengan baik. Ketika dia mengantarku pulang, dia memberikanku sepucuk surat.
                                                                                               

Semarang, 15 Juni

Untuk Zie, tersayang
Sayangku, selamat ulang tahun ya. Maafkan aku, aku belum bisa memberikan kado apapun untuk kamu. Namun aku berjanji, aku akan memberikan kado terbaik. Aku akan lolos semua seleksi ini sehingga secepatnya aku bisa menjemput kamu.

Dari seseorang yang sangat mencintai kamu,

Aria

***
Mataku berkaca-kaca membaca surat dari Aria tersebut. Aku pun selalu mempunyai impian untuk menikah dengan dia. Tidak dapat kubayangkan bila dia tidak bersamaku. Dia adalah udara bagiku. Penyejuk hatiku. Aku tidak akan bisa bernapas tanpa udaraku.

***

Akhirnya Aria benar-benar diterima sebagai calon pegawai negeri di departemen keuangan tersebut. Namun, selama satu tahun, dia harus bersekolah terlebih dahulu di Malang. Lagi-lagi aku harus menjalani hubungan jarak jauh dengannya.

***
1 tahun kemudian

Aria telah lulus dari sekolah tersebut. Dia mendapatkan penempatan di Banjarmasin. Hubunganku dengannya pun berjalan seperti biasa. Mama juga sudah tidak pernah membahas persoalan Aria. Walaupun demikian, aku tahu, mama diam karena mama tidak mau menyakiti hatiku dengan tidak mendukung hubunganku dengan Aria.

Semakin lama aku menjalin hubungan dengan Aria, impianku semakin terasa nyata. Namun, masih ada satu hal yang mengganjal pikiranku. Aku harus bisa membuat mama menerima Aria lagi secara tulus.

***

Akhir-akhir ini mama mulai sering berkomunikasi dengan Aria lagi. Harapanku mama sudah bisa memaafkan semua yang pernah dilakukan Aria dan bisa merestui hubunganku dengan Aria hingga ke pernikahan.

Namun hari ini, Livi menceritakan kepadaku masalah beberapa tahun yang lalu. Antara mama, Aria, dan Saif.

“Jadi gitu mbak, waktu mama minta maaf sama mas Aria, mas Aria malah marah-marah sama mama. Mas Aria ngebentak-bentak mama. Mas Aria bilang nggak terima sama sikapnya mama yang deket sama mas Saif dan memperkenalkan aku sama mas Saif. Mama juga sebenernya agak nggak sreg sama ibunya mas Aria mbak, gara-gara waktu di stasiun itu ibunya mas Aria ngebahas soal janda.” Ujar Livi.

Hatiku hancur, harapanku hancur. Itu semua alasan mama menjauh dari Aria. Orang yang sangat aku cintai, bisa-bisanya membentak mamaku, orang yang paling berharga dalam hidupku.

“Kenapa kamu baru sekarang cerita sama aku, Liv?” Isakku. “Sebenarnya mama ngelarang aku buat cerita sama mbak, tapi menurutku, mbak harus tahu soal ini, mbak harus tahu bagaimana sikapnya mas Aria ke mama.”

Aku pun segera menghampiri mama di kamarnya. Sambil menangis aku memeluk mama. “Maafin Zie, ma. Zie nggak tau kalo Aria ngebentak mama waktu itu. Padahal mama punya inisiatif buat minta maaf sama dia.”
“Zie, mama nggak mau menjadi orang tua yang menyebabkan hati anaknya hancur karena diharuskan memilih melepas orang yang dicintainya. Jujur karena soal itu, mama mulai nggak respek sama Aria. Terlebih lagi dia sering melarang kamu untuk hal-hal kecil. Kalau kamu mau melepaskan Aria. Itu harus dari diri kamu sendiri, Zie. Bukan dari mama.” Ujar mama.

“Ma, aku sayang banget sama mama. Aku nggak bisa kalau ada orang yang menyakiti hatinya mama, apalagi ngebentak mama.”
“Ya coba kamu selesaikan dengan Aria. Ambil keputusan yang terbaik untuk kamu. Bukan untuk mama.” Ujar mama.

Setelah aku selesai berbicara dengan mama. Aku menenangkan diri di kamarku. 

Sanggupkah aku untuk melepas Aria. Untuk hidup tanpa dia. Melihat suatu saat nanti dia bersama orang lain. Melepas impianku untuk memiliki keluarga dengan dia. Impianku selama hampir empat tahun ini.

Namun di sisi lain, restu dari mama adalah segala-galanya bagiku. Aku tidak ingin mama menerima calon suamiku kelak hanya demi aku. Aku ingin mama benar-benar menyetujui pilihanku.

Aku pun segera mengambil keputusan. Besok sore Aria akan datang ke rumahku. Pada saat itu aku akan berbicara padanya tentang keputusanku. 

Mungkin besok adalah pertemuanku yang terakhir dengan Aria. Aku sangat mencintai Aria, tetapi aku lebih mencintai mamaku.

Mungkin suatu saat nanti aku akan bertemu dengan seseorang yang lebih mencintaiku daripada dia, dan lebih bisa menyayangi dan menghormati mama.

Mungkin Aria adalah udaraku. Namun mama adalah segalanya untukku.

-THE END-