Sabtu, 13 September 2014

Goresan Luka Hati-6



                  Kenangan itu menghantamnya lagi. Dua sisi kenangan baik dan buruk tentang dia menghantam diri Riani dengan sangat kuat. Riani merasakan kakinya gemetar, tetapi ia berusaha menguatkan dirinya. Ia yang sekarang sudah tidak selemah Riani yang dulu. 

            Ia melihat Dewangga mengulurkan tangan perlahan padanya. Ragu-ragu ia menjabat tangan Dewangga. Sentuhan kecil dengan Dewangga membuatnya sepert tersengat arus listrik.

            Dewangga memperhatikan reaksi Riani. Ia takut Riani memperlihatkan penolakan padanya seperti saat ia terakhir bertemu Riani. Ia menarik nafas lega ketika Riani membalas jabatan tangannya. Ia melirik Janis yang berdiri di sampingnya. Janis memperhatikan mereka berdua dengan kening berkerut.

            Serangan rasa panik mulai merayapi perasaan Riani. Ia benar-benar tidak menyangka akan bertemu Dewangga. Sudah bertahun-tahun ia berusaha keras melupakan segala sesuatu tentang Dewangga. Ia berusaha mencari alasan untuk meninggalkan suasana yang cukup canggung itu.

            “Bu Janis,” panggil Riani. “Saya permisi ke kelas dulu Bu, masih ada hal yang perlu saya cek di kelas,” Riani menarik nafas perlahan.

            “Mari Pak Dewangga, saya permisi dulu.”

            Dewangga memperhatikan langkah Riani yang seperti ingin cepat-cepat meninggalkan ruangan. Ia menghembuskan nafas yang tadi sedikit ia tahan. Riani masih belum bisa memafkannya, pikirnya.

**

              Dewangga sangat menyukai anak kecil. Seringkali ia menjadikan anak-anak sebagai obyek potretannya. Ia melihat Kevin melambaikan tangan dari kejauhan. Keponakannya itu sudah semakin bertambah dewasa.

            Kevin memerankan seorang pangeran dalam drama yang ia mainkan. Dewangga tertawa kecil melihat keponakannya sudah memiliki sedikit pesona pada lawan jenisnya.

            Ia mengalihkan pandangannya pada seorang wanita yang berdiri di ujung auditorium. Wanita yang selalu tersenyum melihat setiap penampilan anak didiknya. Senyum yang sangat jarang ia lihat. Semakin ia memperhatikan Riani, ia semakin terpesona. Setelah bertemu lagi dengannya, Dewangga yakin ia tidak akan sanggup menjauh lagi.

            Ragu-ragu ia berjalan mendekati Riani. Ia menguatkan tekadnya. Ia tidak bisa membohongi hatinya. Ia ingin selalu ada di samping Riani.

            Riani langsung memasang sikap waspada ketika ia melihat Dewangga menghampirinya. Ia masih tidak sanggup menghilangkan luka hatinya. Luka yang sudah Dewangga goreskan begitu dalamnya.

            “Udah lama kita nggak ketemu, Ri. Gimana kabar kamu?” tanya Dewangga.

            “Baik,” jawab Riani kaku.

            “Mmm, Ri, bisa nggak kapan-kapan kita makan siang bareng?”

            “Maaf, sepertinya tidak bisa. Saya permisi dulu,” Riani berjalan menjauhi Dewangga secara terburu-buru. Nafasnya terasa sangat sesak.

            Dewangga terdiam. Bukan hanya belum bisa memaafkannya, Riani pun masih seperti ketakutan bila di dekatnya. Ia melihat bagaimana Riani berusaha menutupi ketakutannya, namun sorot mata itu masih tetap sama.

            Ia mengacak-ngacak rambutnya frustasi. Ia tahu, kesalahannya pada Riani memang tidak termaafkan. Namun, ia sungguh berharap Riani akan memberikan kesempatan untuk memaafkannya.

            Tiba-tiba ia tersadar, saat ini ia sedang bekerja. Bagaimanapun sakit yang ia rasakan, ia harus tetap bersikap profesional pada pekerjaannya. Dewangga menghembuskan nafasnya. Ia harus mengesampingkan perasaannya dahulu.

            Seseorang menepuk bahu Dewangga, ia pun menoleh dan melihat Janis sudah ada dibelakangnya.
            “Gimana Ngga?” Janis menanyakan hasil pekerjaannya.
            “Bagus-bagus dong mbak,” jawab Dewangga sembari terkekeh.

            Janis memandang Dewangga secara seksama. Dewangga jengah merasakan pandangan saudaranya yang cukup intens padanya.

            “Ada apa antara kamu sama Riani?”

            Dewangga kaget mendengar pertanyaan Janis. Ia tidak menyangka bahwa saudaranya itu merasakan sesuatu antara ia dan Riani.

            “Ya nggak ada apa-apa mbak,” sahutnya pelan.

            Janis memutar matanya mendengar jawaban Dewangga.

            “Nggak usah bohong deh Ngga. Aku lihat sendiri kok sikap kamu sama Riani. Sikap Riani yang berusaha menjauhi kamu kayak kamu itu virus penyakit. Pandangan mata kamu kalau melihat dia kayak orang buta yang akhirnya bisa melihat matahari lagi.”

            Angga terdiam. Mungkin menutupi perasaannya pada Riani memang mustahil. Ia menarik nafas perlahan.

            “Ceritanya panjang mbak. Nanti kapan-kapan aku cerita. Ini kan aku lagi kerja mbak, masak aku makan gaji buta kalau malahan curhat sama mbak. Hehehe,” Angga berusaha menutupi kegugupannya dengan tertawa pelan. Ia takut bagaimana reaksi Janis bila mendengar ceritanya.

            “Oke, nanti aja kamu cerita sama mbak. Tapi janji kamu harus segera cerita. Sekarang kerja dulu sana yang rajin. Awas kalau hasilnya jelek,” ujar Janis sembari berjalan menjauhi Dewangga.

            Dewangga mengambil ponselnya. Menghubungi sahabat terdekatnya.

            “Halo, Shana, bisa ketemu nanti malem?” tanyanya pada seseorang yang ia hubungi.

**

            Riani berusaha mengatur nafasnya. Ia berusaha memelankan debaran jantungnya. Dewangga tidak berubah. Tetap memesonanya. Lagi-lagi Riani tertawan dalam sorot mata tajamnya. Bertahun-tahun ia berharap akan bertemu dengannya lagi. Namun bertahun-tahun pula ia berdoa agar tidak dipertemukan lagi dengan Dewangga. Riani tidak habis pikir, bagaimana bisa ia tetap mencintai seseorang yang begitu ia benci. 

Part-5

Senin, 18 Agustus 2014

Goresan Luka Hati- 5

               Acara pentas seni tahunan di SLB Bhakti Bangsa akan segera diselenggarakan. Setiap tahunnya, para siswa akan menunjukkan segala kebolehan mereka. Acara ini dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan diri bagi semua siswa.
            Sejak pagi Riani sudah sibuk mengatur auditorium menjadi panggung yang istimewa bagi siswa-siswanya. Semua anak-anak secara bergantian akan menjadi pengisi acara tahunan itu. Riani melihat Bu Janis sedang sibuk dengan ponselnya, ia seperti sedang kebingungan. Riani pun menghampirinya, mencari tahu hal yang merisaukan Bu Janis.
            “Ada apa Bu?” Riani bertanya setelah Bu Janis menutup ponselnya.
            “Fotografer langganan kita tiba-tiba membatalkan janjinya, jadi tadi saya kebingungan harus mencari fotografer di mana, Riani.”
            “Lalu sekarang bagaimana Bu? Sudah dapat?”
            “Untungnya sudah, Ri. Ibu baru ingat kalau ibu punya saudara yang jadi fotografer. Tadi ibu sudah menghubunginya, dan dia bersedia. Kira-kira satu jam lagi dia akan sampai di sini,” ujar Janis sembari tersenyum.

**
            Dewangga baru saja selesai berolahraga ketika ponselnya berbunyi. Ia mengambilnya dan mengerutkan kening melihat nama seseorang yang menghubunginya.
            “Halo Mbak Janis,” sapa Dewangga.
            “Angga, kamu sekarang masih dirumah kan?”
            “Masih Mbak, kenapa?”
            “Angga, tolongin Mbak dong. Di sekolah Mbak mau ada acara pentas seni, tolong kamu jadi fotografernya ya,” pinta Janis.
            “Wah, nyewa aku biayanya mahal lho mbak,” sahut Angga terkekeh.
            “Biaya berapapun mbak bayar deh, yang pasti satu jam lagi kamu harus udah sampai di sini.”
            “Satu jam? Ini aku belum mandi mbak, lagian jarak rumah ke sekolahnya mbak lumayan jauh lho.”
            “Pokoknya satu jam lagi, titik.”
            Angga mendengar Janis menutup teleponnya seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tertawa melihat sikap Janis yang tetap sama seperti dulu. Memang sebagian besar keluarganya adalah seseorang yang senang memaksa orang lain menuruti kehendaknya.

**
            Angga sedang berjalan memasuki gedung SLB Bhakti Bangsa dan ia terkagum-kagum melihat sekolah yang didirikan saudaranya itu berhasil berkembang secara pesat. Mbak Janis benar-benar berusaha menciptakan suasana yang sangat nyaman bagi murid-muridnya.
Suasana sekolah terasa sangat nyaman dengan banyaknya pepohonan yang tumbuh dan dipelihara secara rapi di sekelilingnya. Ada beberapa gazebo mengelilingi air mancur di taman sekolah. Belum lagi beraneka ragam bunga menambah keindahan sekolah itu.
            Dewangga tertegun, melihat sesosok wanita yang sedang berjalan ke arahnya sembari membaca buku yang ia pegang dengan serius, seperti tidak memperhatikan kondisi sekitarnya. Ia tidak percaya dengan penglihatannya. Namun ia yakin, ia tidak akan pernah salah mengenali seseorang yang sudah bertahun-tahun ada di hatinya.
            Ia merasakan seperti ada jutaan pecahan kaca menghujam jantungnya ketika Riani berjalan melewatinya. Ia kehilangan nafasnya. Waktu serasa berhenti. Atau setidaknya ia ingin waktu berhenti cukup lama. Dewangga mengepalkan tangannya, mencoba menahan keinginannya menarik tangan Riani.

**
            Riani menghentikan langkahnya. Ia memperhatikan lelaki yang sedang berdiri di hadapan Bu Janis. Ia merasa seperti mengenal sosok yang ia lihat itu seumur hidupnya. Riani menggelengkan kepalanya, berusaha menghapus ingatan tentang seseorang.
            “Riani. Ke sini sayang,” Janis meminta Riani menghampirinya.
            Riani mendekatinya sedikit ragu. Ia merasakan sosok lelaki itu seperti menegang. Perlahan-lahan lelaki itu membalikkan badannya, menghadap Riani.
            “Riani, kenalin ini Dewangga, saudaraku tersayang yang akan jadi fotografer kita,” Janis memperkenalkan tamunya pada Riani.



Part-4
Part-6 

Goresan Luka Hati- 4

Sudah beberapa waktu, teman-teman Riani sesama guru mulai menggodanya. Mereka menanyakan hubungannya dengan Ian. Riani hanya menanggapi dengan tersenyum. Ia memang hanya menganggap Ian sebagai teman baru yang kebetulan juga ayah muridnya.

Riani mengakui bahwa Ian memang seorang pria yang akan menjadi idaman banyak wanita. Sikapnya yang sedikit dingin, tetapi akan berubah hangat bila bersama Kevin, dengan pembawaan yang tenang akan membuat banyak wanita bertekuk lutut untuknya. Namun, Riani bukan salah satu dari wanita-wanita itu.

Ia dengan halus berusaha meminta Ian untuk tidak lagi menuruti permintaan Kevin dengan mengantar jemputnya lagi. Ian pun memakluminya. Ian mengerti bahwa Riani tidak ingin merasa sungkan dengan teman-temannya.

Ian selalu terpesona untuk semua hal tentang Riani. Baginya, Riani adalah pribadi yang sangat unik dan spesial. Ia pun tahu bagaimana dalamnya rasa sayang Kevin untuk Riani. Semenjak kematian Kinan, istrinya, ia tidak pernah terpikir untuk mencari ibu baru untuk Kevin. Apalagi Kevin bukanlah anak yang mudah untuk dekat dengan seseorang yang baru dikenalnya.

Ting tong

Lamunannya terhenti mendengar suara bel rumahnya. Ia mendengar tawa mamanya ketika membukakan pintu.  Ia mengernyit, berjalan menuju pintu untuk melihat siapa tamunya.

“Mas Ian,” Dewangga berseru sembari memeluk Ian.

“Kamu itu, sampe di Indonesia, yang ditelepon bukan Mas atau Mama, tapi malah Pak Anto,gerutu Ian.

Dewangga tertawa pelan. “Wah Pak Anto ini, udah dibilangin jangan bilang Mas dulu, tapi malah langsung bilang.”

“Dasar kamu, Ngga. Mama sampe bingung, tapi Masmu bilang mama pura-pura nggak tahu aja. Katanya nanti juga kamu bakal pulang sendiri,” Mama mencubit lengan Dewangga pelan.

Dewangga terkekeh memandang mama dan kakaknya, ia memang merasa bersalah tidak langsung pulang setibanya di Semarang. Dewangga bekerja sebagai fotografer profesional. Ia sering berkeliling pelosok dunia untuk mencari obyek unik untuk difoto. Tidak jarang hasil jepretannya masuk ke majalah-majalah internasional.

**

             Dewangga memandangi foto-foto Riani dalam laptopnya. Ia suka memotret Riani diam-diam ketika mereka masih satu sekolah. Dewangga membandingkan foto wajah Riani dulu dan foto yang baru ia ambil beberapa hari lalu di depan rumah Riani. Wajah Riani memang tidak terlalu banyak berubah, tetap hanya dengan polesan kosmetik yang sangat tipis, tetapi sanggup menambah pesona wajahnya tanpa terlihat berlebihan.
        
           Suara ketukan pelan terdengar dari luar pintunya. Ia berjalan untuk membukakan pintunya dan melihat Ian yang ada di balik pintu.
          
            “Ngga, kita makan malam di luar, untuk menyambut kepulangan kamu.”

            “Besok aja mas, aku udah ngantuk nih,gerutu Angga.

            “Sepuluh menit lagi kita berangkat,” ucap Ian sembari berjalan menjauhi kamar Dewangga.

           Dewangga menggeleng-gelengkan kepalanya. Ian tetap Ian yang seperti dulu. Ian yang kaku dan suka memaksakan kehendaknya, tetapi kakaknya adalah seorang yang berjuang demi keluarga yang dicintainya. Ian harus mengambil alih perusahaannya di usia yang sangat muda ketika ayah mereka meninggal dunia. Itulah yang menyebabkan Ian seringkali bersikap kaku dan keras. Padahal dulu Ian juga pribadi yang hangat dan menyenangkan. Sekarang ia hanya sanggup bersikap hangat pada orang-orang yang ia sayangi.

**

            Riani melihat mobil sport berwarna putih terparkir didepan rumahnya. Ia tersenyum, sudah lama ia tidak bertemu Ishana, satu-satunya sahabat yang ia miliki. Tiba-tiba seseorang berlari dan memeluknya erat.

            “Riani, ternyata aku kangen banget sama kamu,ucap Ishana.

            “Hahahaha, kamu sih liburan kelamaan.”

            “Liburan apaan. Itu kerja Riani, kerja rodi malah,sungut Ishana.

            Riani tertawa melihat sikap Ishana. Ishana seperti saudara perempuan yang tidak pernah dimilikinya. Mereka mulai dekat ketika Riani pindah sekolah ke sekolah Ishana. Saat itu mereka sudah kelas 2 SMA.

            Ishana tidak pernah menyerah untuk mendekati Riani walau sekeras apapun Riani berusaha menjauh. Ia adalah satu-satunya teman yang membelanya ketika teman-teman mereka melakukan hal-hal yang buruk pada Riani. Ishana dan Riani, sepasang sahabat dengan kepribadian yang sangat bertolak belakang.



Part-3
Part-5 

Awarding Event #BulanNarasi,,,dan Alhamdulillah,,masih disuruh belajar lebih banyak lagi..

Jadi ceritanya, awal bulan Mei kemarin aku ikut #BulanNarasi. Bulan Narasi itu tantangan buat para penulis untuk menyelesaikan novel mereka, minimal 150 halaman dalam waktu 30 hari, start tanggal 1 Mei 2014, dan tanggal 30 Mei 2014, udah harus diposting di Nulisbuku.com.

Bulan Narasi sendiri digagas oleh Plot Point dan bekerjasama dengan Nulisbuku.com.

Selama ini sih belum pernah sama sekali buat novel. Ada sih 2 cerita yang niatnya pengen aku buat jadi novel, tapi masing-masing belum ada yang berhasil ditulis lebih dari 10 halaman. :p

Tapi Alhamdulillah,,berhasil nyelesaiin tantangan dari #BulanNarasi dan novel pertamaku akhirnya selesai.

Setelah nunggu berbulan-bulan, akhirnya pemenang dari #BulanNarasi diumumin tanggal 16 Agustus 2014 kemarin, dan Alhamdulillah belum menang. :D

Menulis bukan suatu proses yang instan. Menuangkan semua imajinasi yang ada di kepala ke dalam sebuah tulisan menurut aku gampang-gampang susah.Kadang stuck di kalimat itu-itu aja. Mungkin referensi bacaanku kurang banyak kali ya. Aku orang yang suka buat drama didalam pikiranku sendiri. Kadang kalau lagi dijalan, ide itu ngalir gitu aja, tapi giliran di depan laptop, langsung deh ide yang tadi menguap, hilang.

Sekarang aku selalu berusaha nulis semua ide yang tahu-tahu melintas di otak. Kalo lagi megang kertas, ya ditulis dikertas, tapi kebanyakan aku tulis di hp.

Aku yakin Allah selalu ngasih kesempatan kita di waktu yang tepat. Jadi kalau sekarang ini belum jadi kesempatanku, berarti masih belum waktunya dan aku masih harus belajar banyak lagi, memperbanyak referensi bacaan. Siapa tahu nanti aku bisa nulis kayak Lima Sekawan-Nya Enid Blyton, Harry Potter-nya J.K Rowling,  The Hunger Games-nya Suzanne Collins, The Lord of The Ring-nya J.R.R Tolkien.

Aamiin..Aamiin..

Selasa, 03 Juni 2014

Read..Read..Read....

Sejak kecil aku suka baca buku. Koleksi buku sejak kecil hingga sekarang mungkin sudah mencapai ratusan buku. Mungkin bila dihitung-hitung, total uangku yang aku habiskan untuk belanja buku jauh lebih banyak daripada untuk membeli baju.

Jaman kecil aku sudah akrab dengan berbagai dongeng-dongeng seperti cinderella, snow white, little mermaid, aladin, dll, tapi aku juga mengakrabi legenda timun mas, calon arang, legenda tentang batu menangis, dsb. Orang tuaku membiasakanku untuk membaca berbagai macam cerita. Namun, aku sedikit dilarang untuk membeli komik.

Suatu ketika, kami pergi bersama teman papaku beserta keluarganya. Saat kami mampir di sebuah toko buku, anak-anak teman papa itu membeli beberapa komik, sedangkan aku dan adikku membeli buku tentang Walisongo. Om Salim, teman papa, sedikit heran kenapa anak-anak seumurku dan adikku, ketika itu aku masih sd, dan adikku masih tk, mau membaca cerita tentang Walisongo.

Banyak keuntungan yang aku dapatkan dari hobi membacaku. Ketika di sekolah dasar, aku sudah hafal sebagian besar cerita Nabi dan Rasul, sehingga aku selalu bisa mengerjakan soal-soal agama yang berhubungan dengan cerita Nabi dan Rasul. Banyak teman-teman yang memintaku untuk bercerita tentang Nabi dan Rasul. Menurut mereka, ceritaku lebih mudah diingat daripada mereka membaca di buku pelajaran.

Hobi membacaku semakin terlihat ketika aku kelas 3 sd. Ketika itu mama membelikanku seri Lima Sekawan. Awalnya memang aku kurang tertarik, karena didalam buku itu tidak ada ilustrasi gambar sama sekali, sangat berbeda dengan buku-buku yang sebelumnya aku baca. Namun mama meyakinkanku bahwa itu adalah buku yang sangat bagus. Akhirnya dengan sedikit terpaksa, aku membeli buku itu.

Dari yang awalnya kurang tertarik, semakin aku baca, imajinasiku semakin masuk dalam cerita. Lima sekawan menceritakan tentang petualangan empat saudara dan anjing mereka. Dalam imajinasiku, aku benar-benar serasa ikut dalam semua petualangan mereka. Seri Lima Sekawan yang pertama aku miliki berjudul "Menyamarkan Teman".

Aku selalu membawa buku itu kemana-mana. Bahkan aku hingga lupa makan karena terlalu asyik membaca buku itu. Tidak jarang orangtuaku memarahi karena hal itu. Aku tidak bisa menutup buku bila cerita yang aku baca belum selesai.

Suatu hari, papaku membawa pulang belasan buku seri favoritku itu. Saat itu aku seperti orang yang menemukan harta karun. Terkadang walaupun buku itu sudah selesai aku baca, aku akan membacanya kembali dari awal.

Aku teringat, ketika itu aku sudah kelas 5, aku membaca di koran tentang buku baru yang menggemparkan dunia, Harry Potter. Aku meminta pada papaku agar membelikanku buku itu. Awalnya papaku tidak mau membelikannya. Tidak lama setelah itu, aku terkena gejala Thypus dan dirawat di Rumah Sakit. Beberapa hari aku dirumah sakit, tiba-tiba papa membelikanku Buku Harry Potter. Tidak tanggung-tanggung, dua seri sekaligus dibelikannya untukku. Buku-buku itu yang membantu memberi semangat untuk cepat sembuh, supaya secepatnya aku bisa membacanya.

Aku selalu merawat buku-bukuku dengan baik. Bagiku buku rusak lebih membuatku sedih daripada kehilangan barang lainnya. Setelah aku masuk sekolah lagi, aku dan teman-temanku membuat rencana untuk menyewakan buku-buku kami. Harapan kami, agar semua teman-teman sekelas juga menjadi gemar membaca, dan juga untuk menambah uang saku kami.

Awalnya usaha kecil kami sangat maju dengan pesat. Terutama buku-buku milikku, teman-teman hingga rela mengantri untuk meminjam buku-buku itu. Buku-buku milikku pribadi hampir tidak pernah ada padaku. Selama sebulan itu, uang yang kami dapatkan cukup banyak.

Namun hal yang paling aku sesali, setelah semua buku kembali padaku, hampir semuanya rusak. Beberapa cover sobek, beberapa halaman dalamnya terlipat-lipat. Saat itu aku merasa hatiku sangat sesak. Ingin marah, tapi tidak tahu harus marah pada siapa. Beberapa teman yang kutanya selalu menjawab tidak tahu. Memang itu adalah kesalahanku. Aku kurang mengecek bila buku itu kembali padaku. Aku kira teman-temanku bisa memperlakukan buku seperti aku memperlakukan buku-bukuku.

Mungkin bagi beberapa orang, buku hanyalah lembaran kertas yang tidak penting. Namun bagiku buku itu seperti sahabatku sendiri.


Rabu, 16 April 2014

Goresan Luka Hati -3


Akhirnya Dewangga benar-benar kembali ke Indonesia, setelah bertahun-tahun menimba ilmu dan mendulang emas di negeri orang. Saat ini hanya satu orang yang benar-benar ia rindukan.

Bahkan setelah bertahun-tahun Dewangga berusaha menghilang dari hidupnya, gambaran wajahnya selalu terbayang, tersimpan rapat dalam otak dan hatinya. Dewangga termenung. Mengingat gadis yang sudah bertahun-tahun mencuri hatinya dengan sangat telak.

“Pak, kita ke jalan Gading dulu ya,” ucapnya pada Pak Anto, supir keluarga yang menjemputnya di bandara.

Sekembalinya ke kota kelahirannya, hal pertama yang dilakukan Dewangga adalah mencari Riani. Ia butuh melihatnya, walaupun hanya sekilas. Tidak pernah ada seorang wanita pun yang sanggup mengikis perasaannya untuk Riani. Beberapa kali ia menjalin hubungan yang cukup dekat dengan wanita lain, tapi tidak pernah bertahan lama karena Dewangga tidak bisa bersikap layaknya kekasih pada mereka.

Rumah Riani ada di pinggir jalan raya, sehingga memudahkannya bila ingin melihatnya tanpa bertemu langsung dengan Riani. Mungkin sikapnya ini sudah seperti orang psikopat, tapi ia tidak peduli. Dewangga meminta pak Anto untuk menepi di dekat warung di seberang rumah Riani. Ia mengambil kameranya, mempersiapkannya bila Riani muncul. Hari minggu seperti ini, ia yakin Riani pasti ada dirumah. Dia adalah tipe wanita rumahan.

Tiba-tiba ia melihat seseorang keluar dari rumah itu sembari menenteng penyiram tanaman. Ia merasakan jantungnya berdegup sangat cepat, sudah bertahun-tahun ia tidak melihatnya, dan sekarang ia ada di depan matanya. Dia tetap secantik yang  ia ingat. Bola matanya yang hitam, hidungnya yang mungil, tatapannya yang sanggup mengiris-iris hatinya. Senyumnya yang bisa membuat semua masalah Dewangga seperti menghilang. Namun memang, selama ia mengenalnya, sangat jarang senyuman manis itu terpasang di wajahnya. Hanya matanya yang berkaca-kaca yang menandakan kesedihannya yang sering terlihat di wajahnya. Ia memang hanya bisa melihatnya dari jauh, namun itu sudah cukup bagi Dewangga untuk mengobati rindunya.

Riani, apakah sekarang kamu sudah bisa memaafkanku? tanyanya lirih dalam hati.

**

Sudah beberapa minggu ini Riani berangkat dan pulang bersama Kevin dan papanya, Ian. Riani semakin salut pada usaha Ian untuk membagi waktunya untuk Kevin dan pekerjaannya. Sesibuk apapun, ia akan selalu meluangkan waktunya untuk Kevin. Ia tidak ingin insiden yang menimpa Kevin dulu terulang lagi. Sebenarnya Riani risih selalu merepotkan Ian, tetapi Kevin benar-benar tidak membiarkan Riani sendiri.

Eyang dan mama juga sudah mengenal Kevin. Tidak jarang Kevin datang kerumah Riani dan bermain-main dengan mereka. Semenjak mengenal Kevin, mama terlihat lebih bahagia dan jarang melamun lagi. Mungkin kehadiran Kevin jauh lebih ampuh dibandingkan obat anti depresi apapun bagi mama.

Hari minggu ini seperti biasanya Riani habiskan dengan bersantai di rumah. Ia tidak terlalu senang untuk pergi keluar, kecuali pergi ke bioskop dan toko buku. Riani memang penggemar berat film dan buku. Kedua hobi dimana ia benar-benar bisa masuk ke dalam dunia imajinasi, membayangkan memiliki kehidupan-kehidupan luar biasa seperti di dalam film atau buku. Bukannya tidak mensyukuri kehidupannya, tetapi ada kalanya ketika ia merasa jenuh pada hidupnya, Riani bisa melampiaskannya dengan imajinasi-imajinasinya.

Semua proses dalam hidupnya mengajarkan Riani untuk menerima dan bersyukur. Masih banyak orang-orang yang mengalami proses kehidupan dengan lebih keras. Setidaknya diluar bayang-bayang kelam dulu, Riani masih memiliki orang-orang yang menyayanginya, dan ia akan melakukan apapun untuk melindungi mereka.

Riani sangat suka berkebun. Menanam bibit-bibit tanaman, menyiraminya, melihat pertumbuhan tanaman-tanamannya, mungkin seperti melihat pertumbuhan anaknya besok. Riani sedang menyirami tanaman sembari bersenandung pelan ketika melihat mobil mewah yang berhenti di seberang rumahnya. Ia merasa seperti ada seseorang sedang mengawasi rumahnya. Riani menggeleng-gelengkan kepalanya, sepertinya ia berpikir berlebihan.

**

Kevin menggandeng tangan Riani begitu erat. Ia terlihat sedikit ketakutan berada di dalam bus kota. Riani merasakan tangan Kevin sedikit gemetaran, ia pun mengusap tangan kecil Kevin perlahan untuk menenangkannya.

Tadi pagi Ian mengatakan bahwa siang ini ia akan mengikuti sebuah rapat yang sangat penting sehingga ia akan menyuruh supirnya untuk menjemput Riani dan Kevin. Riani pun menawarkan diri untuk mengantar Kevin pulang dan meminta ijin pada Ian untuk memberikan sedikit pengalaman pada Kevin untuk pulang dengan bus kota.

“Kevin belum pernah kan naik bus kota?”

“Belum pernah, Bu.”

“Naik bus itu enak lho Kevin, kita bisa bertemu dengan banyak orang. Bahkan ibu pernah mendapatkan teman ketika ibu naik bus kota ini.”

Kevin terdiam, “Kevin takut kalau ketemu orang jahat, Bu,” Kevin menjawab lirih.

Riani tersenyum. Ia pun dulu pernah merasa ketakutan bila bertemu orang-orang baru. Terkadang perasaan takut itu masih sering muncul. Namun ia semakin belajar untuk mengendalikannya.

“Di dunia ini, sebenarnya tidak ada orang yang benar-benar jahat, Kevin. Kita harus benar-benar mengenal mereka dulu, baru kita berhak menilai seorang itu jahat atau baik.”

Kevin pun mengangguk-angguk, “Tapi dari pertama aku liat Bu Riani, aku langsung tahu kalau Ibu itu baik,ujarnya sembari menyandarkan kepalanya pada lengan Riani.

Riani melirik Kevin, sepertinya Kevin benar-benar sudah mengantuk. Sebentar saja ia sudah tertidur lelap. Sebenarnya Kevin ini mengingatkannya pada seorang teman masa kecilnya. Satu-satunya anak lelaki yang pernah menjadi sahabatnya. Namun ternyata sahabatnya itulah yang menjadi salah satu penyebab traumanya. Tidak hanya sekali waktu Riani teringat padanya. Sebenarnya ia ingin bertemu lagi dengannya, tetapi Riani tidak tahu apakah ia akan sanggup bila suatu saat benar-benar bertemu ia lagi. Dewangga, laki-laki yang sangat ia benci, tetapi juga diam-diam ia rindukan.

Part- 2
Part-4 

Jumat, 11 April 2014

Our LO(ST)VE Story - BAB III

BAB III
Surat Cinta? Hmm..

                Yak, dan malam ini aku benar-benar harus memeras otakku.  Semenjak dua jam yang lalu aku masih belum menuliskan apa-apa di kertas. Seumur-umur aku belum pernah membuat surat cinta untuk siapa pun. Apalagi ini untuk dia. Aku berusaha mencari kata-kata yang indah, tapi tidak norak dan berlebihan.
             
                  Kuambil handphoneku, kutekan speed dial 2. Setelah nada sambung ketiga, terdengar suara dari seberang telepon.

“Riooooo,kamu udah mau tidur ya?”

“Bukan udah mau tidur, Ve, tapi udah tidur. Kenapa telepon malem-malem?”

“Hehehe, sori Yo, aku bingung soalnya mau nanya ke siapa. Makanya telepon kamu.”

“Hadeh, iya tau kok, siapa lagi yang mau kamu gangguin malem-malem gini kalo bukan aku.”

“Makanya itu Rio yang paling cakep, paling baik, bantuin aku buat surat cinta dong.”

“Heh, buat apaan? Emangnya aku keliatan kayak orang yang suka nulis surat cinta ya?”

“Ya nggak sih Yo, kasih masukan aja, aku harus nulis model apaan biar gak keliatan norak kalo dibaca sama cowok. Tugas mos nih. Nyebelin hari terakhir malah tugasnya aneh-aneh aja.”

“Ooh, tulis lirik lagu aja Ve, biar gampang.”

“Eh iya ya Yo, aduuh kamu tuh emang yang paling super deh, tapi lagu yang  apa Yo?”

“Cari sendiri aja Ve, aku udah super ngantuk nih. Kamu juga jangan tidur kemaleman Ve.”

“Hehehehe, iya Rio sayang, selamat tidur ya, mimpi indah, maaf udah gangguin kamu tidur. Makasih ya Yo.”

                Rio memang yang paling bisa aku andalkan. Oke, sekarang tinggal mencari lagu yang kira-kira cocok. Ku ambil majalah sekolahku, barangkali aku bisa menemukan inspirasi di situ. Di halaman paling belakang, aku menemukan lirik sebuah lagu cinta. Sepertinya lirik itu bisa kutulis dalam tugas surat cinta ini.

 ***

Ah, pasti Ve mau mengirimkan surat cintanya untuk mas Titto. Tidak kupungkiri perasaanku sedikit tersayat mendengar kabar itu. Entah sejak kapan aku menyayangi Ve melebihi sahabat. Namun aku tahu bagaimana perasaannya pada mas Titto. Tidak mungkin tiba-tiba mengungkapkan perasaanku padanya. Apalagi sekarang dia bersekolah di sekolah yang sama dengan mas Titto. Aku mengenal mas Titto sejak aku kecil. Seringkali dia melihat aku bersama Ve. Mungkin itu yang membuat dia berpikiran bila aku dan Ve berpacaran.

Ku tatap tumpukan kertas di meja belajarku. Semenjak aku mulai memahami perasaanku untuk Ve, aku mulai menuliskan surat untuknya. Semua hal yang tidak bisa aku ungkapkan secara langsung padanya. Namun semua surat-surat itu hanya akan selalu berada di kamarku.  Aku tidak mau persahabatanku dengan Ve rusak bila aku mengungkapkan semua rasaku padanya. Satu-satu hal yang bisa aku lakukan hanyalah selalu berada di sisinya. Walaupun mungkin aku akan merasakan sakit karena sikap pengecutku ini.


***

“Ve, mana liat suratmu. Jadinya kamu nulis buat siapa?” Tanya Viona.

Aku tersenyum simpul. Aku masih tidak yakin akan mengumpulkan surat itu. Bagaimana bila Mas Titto menganggap itu serius dan memberikan jawaban padaku? Tenang Ve, dia pasti hanya akan menganggap itu hanyalah tugas semata.

“Untuk Kak Steve dong. Kamu nulis untuk siapa Na?” tanyaku. Aku tidak mengerti kenapa aku memilih berbohong pada Viona. Ya sudah lah. Surat itu tidak akan dibaca di depan umum kan.

“Aku nulis untuk kak Tera, hehehe. Ya siapa tahu dia bakal bales suratku.” Ujar Viona.

“Hu, dasar ngarep nih.” Aku tertawa melihat sikap Viona.

“Selamat pagi semuanya. Udah pada siap surat cintanya? Jangan lupa di amplopnya ditulis nama senior yang mau kalian kasih suratnya, ya. Foto kalian juga jangan ketinggalan, barangkali senior yang kalian berikan surat itu ingin berkenalan langsung dengan kalian.” Kak Mina bertanya sembari tersenyum.

“Kak, tapi suratnya nggak akan dibaca di depan umum kan?” Tanya Reina, ketua kelompokku.

“Tenang aja, nggak kok. Nanti surat-surat itu akan langsung kita kasihkan ke masing-masing penerimanya. Ayo sekarang maju satu-satu, suratnya dikumpulin di kotak ini.” Kak Mina menggoyang-goyangkan kotak yang ia bawa.

Kupandangi suratku. Aku belum menuliskan nama penerima di amplop ini. Cepat-cepat kutuliskan nama ketika Viona sedang maju mengumpulkan suratnya. Aku pun maju perlahan. Segera kumasukkan suratku pada kotak itu.

Walaupun  ini hanya sekedar tugas, namun rasanya benar-benar seperti mengirim surat sungguhan untuk dia. Semoga dia tidak menganggap ini serius. Bisa mati kutu aku bila dia membahas surat itu di depanku.

***

DI ruang OSIS

“Semua suratnya udah dibagi ya. Jadi yang dapet paling banyak, Steve dapet 56 surat, Tera dapet 49 surat, Titto dapet 45. Jangan lupa dibaca satu-satu. Mungkin aja nanti ada yang bisa jadi pasangan gara-gara surat cinta ini. Hahaha.” ujar Meisya sembari tertawa pelan.

Aku mendengus. Empat puluh lima surat harus aku baca satu persatu? Seperti aku masih ada kelebihan waktu saja. Tapi sepertinya aku harus menghargai mereka yang sudah bersusah payah menulis untukku. Aku pun segera meninggalkan ruang OSIS. Aku menuju ke parkiran motor untuk mengambil motor kesayanganku.

Di gerbang sekolah, kulihat Ve sedang duduk bertopang dagu. Sepertinya dia masih menunggu jemputan. Ketika aku baru akan menghampirinya, kulihat jeep hitam menepi. Ve pun segera masuk ke dalam mobil. Lagi-lagi Ve dijemput oleh Rio.

Semenjak dulu aku mengetahui bahwa Rio adalah sahabat Ve. Namun, sikap mereka berdua lebih seperti sepasang kekasih daripada sepasang sahabat. Kuakui aku memang memiliki ketertarikan lebih pada Verisya. Ketika kulihat dia menjadi yuniorku, ada bagian dari hatiku yang merasa sedikit gembira. Melihatnya setiap hari, dengan rambut kucir duanya, membuat hari-hariku semakin lebih bersemangat. Seringkali aku sengaja masuk ke kelasnya hanya untuk melihatnya. Aku pun penasaran siapa penerima surat darinya.

Sesampainya di rumah, aku segera membuka surat-surat itu. Sepertinya akan memakan waktu yang cukup lama. Sebagian dari mereka hanya menuliskan kalimat-kalimat pendek seperti, I love You, Kak, dan sebagainya. Beberapa dari mereka memberikan foto-foto yang kuakui lumayan cantik. Namun entah kenapa aku tidak merasa tertarik. Sepucuk surat dengan amplop biru menarik perhatianku. Aku menggeleng-gelengkan kepala sembari tersenyum. Aku tidak habis pikir, anak SMA masih menggunakan amplop bergambar Mickey Mouse.

Aku tak bisa luluhkan hatimu
Dan aku tak bisa menyentuh cintamu
Seiring jejak kakiku bergetar
Aku tlah terpaku oleh cintamu
Menelusup hariku dengan harapan
Namun kau masih terdiam membisu

Sepenuhnya aku..ingin memelukmu
Mendekap penuh harapan tuk mencintaimu
Setulusnya aku ..akan terus menunggu
Menanti sebuah jwaban tuk memilikimu

Semoga kau tau isi hatiku
Padi-Menanti Sebuah Jawaban
Maaf Kak, aku cuma bisa nulis dari lirik lagu, tapi lirik lagu itu benar-benar sesuai sama yang aku rasain ke Kakak.
               
With Love,
Verisya


                Aku terpaku menatap barisan kata itu. Verisya, menulis surat untukku. Ve menulis surat ini benar-benar sesuai dengan perasaannya, seperti yang dia tulis, atau hanya untuk tugas saja? Aku menghela nafas panjang. Ku ambil foto dari dalam amplop, dia terlihat sangat cantik di foto itu, terlihat begitu ceria.

BAB II