“Hei Bu Anna, sudah dengar cerita pacar terbaru mas Raka?”. Kudengar
suara mbak Rianne melengking dari ujung meja. Aku pun hanya
menggeleng-gelengkan kepala melihat rekan-rekan kerjaku asyik bergosip ria.
Topik gosipnya tidak pernah melenceng jauh dari seseorang yang bernama Raka.
Sudah sebulan ini aku dan tiga orang temanku praktek magang kerja di perusahaan
elektrik terbesar di kotaku. Sekolahku memang mewajibkan seluruh siswa kelas
tiga untuk praktek magang di perusahaan-perusahaan. Kembali kutatap monitor komputerku,
berusaha tidak mempedulikan suara ibu-ibu bergosip di belakangku. Namun yah,
yang namanya gosip, terkadang terlalu seru untuk dilewatkan. Dalam sebulan ini
aku sudah mendengar banyak nama perempuan yang berhubungan dengan Raka. Aku
bukannya tidak mengenal Raka. Mas Raka adalah senior yang mendampingi aku dan
teman-temanku selama proses magang berlangsung. Dulunya dia juga lulusan dari
sekolahku, SMK Persada. Sekolah nomor satu di kota ini.
Mas Raka memang bukan sosok lelaki tampan seperti yang selalu
digambarkan dalam novel-novel romance. Tubuhnya pun tidak terlalu tinggi. Kulit
badannya yang cenderung coklat, disebabkan karena dia lebih sering berada di
lapangan daripada di kantor. Namun, entah kenapa perempuan-perempuan yang
melihatnya mudah merasa tertarik padanya. Mungkin itu yang namanya karisma.
Selain dia memiliki karisma yang besar, Mas Raka juga orang yang sangat cerdas.
Dia betul-betul mencintai pekerjaannya.
****
“Viendra Larasati,” lamunku dalam hati. Baru kali ini aku bertemu gadis
seperti dia. Sorot matanya yang tajam, seperti dia bisa melihat kedalam hatiku.
Pengetahuannya pun sangat luas untuk gadis seumurnya. Tidak pernah aku merasa
bosan untuk mengobrol dengannya. Pertama kali aku melihatnya, aku memang sedikit
terpesona dengan kecantikannya. Namun kukira gadis-gadis abg seperti dia tidak
akan mudah memahami pekerjaan seberat ini. Kukira dia tidak akan mau
menghitamkan kulitnya hanya demi sedikit ilmu yang diperolehnya dari magang
ini. Ternyata aku salah. Sejak saat itu aku tahu, perasaanku untuknya mulai
berubah.
***
“Hei semuanya, mau pada makan apa?”tanya Raka.
“Pizza
dong,” jawabku.
“Vien, Vien. Kamu nggak pernah bosen ya tiap hari makan
Pizza?”.
“Nggak akan ada bosennya kok mas, kan makan gratisan. Hahaha.”
Ucapku. Setiap jam makan siang memang Mas Raka selalu mengajak aku dan
teman-temanku untuk makan bersama. Dari situlah kami merasa sangat dekat dengan
mas Raka, karena mas Raka tidak pernah merasa sungkan-sungkan untuk berbagi
cerita dengan kami, walaupun perbedaan usia kami yang cukup jauh.
***
“Oh iya mas, hari ini aku denger gosip lagi loh tentang mas.”
“Gosip apaan lagi. Cuekin aja. Nggak ada yang bener kok.”
“Tapi mas hebat deh. Tiap hari bisa digosipin sama cewek yang
beda-beda. Cantik-cantik lagi.” Sahutku sambil memperhatikan raut wajahnya.
“Kan aku memang hebat Vien. Cowok cakep kayak aku siapa sih yang nggak
mau. Hahaha.” Ucap Mas Raka sembari mengusap-usap rambutku.
Aku pun mendengus, tidak menanggapi perkataannya. Entah kenapa sentuhan
ringannya menyebabkan jantungku berdebar lebih cepat.
Hari demi hari kulewati, dan hubunganku semakin dekat dengannya. Banyak
hal yang bisa kuobrolkan dengannya. Dia benar-benar sudah seperti Kakak bagiku.
Dia pun sering berbagi masalah pribadinya padaku.
Ibu-ibu penggosip pun mulai menggosipkan hubunganku dengan mas Raka.
Namun, semuanya hanya aku anggap angin lalu. Mas Raka sudah memiliki kekasih
dan akan menikah tiga bulan lagi.
Dia dan kekasihnya sudah berpacaran selama sepuluh tahun, dan keluarga
kekasihnya sudah mendesaknya untuk segera melamar dan menikah.
Kakakku pernah mengingatkanku untuk menjaga jarak dari Mas Raka. Namun
itu sulit sekali aku lakukan. Mas Raka benar-benar berbeda dari lelaki-lelaki
yang pernah aku kenal. Dia satu-satunya lelaki yang membuat aku benar-benar
merasa nyaman bila bersamanya. Perasaan nyaman yang bahkan tidak aku dapatkan
dari seseorang yang mengisi hatiku dulu. Mungkin Kakakku sudah melihat
perubahan perasaanku untuk Mas Raka. Hal yang selalu berusaha aku tutupi.
***
“Vien, apa arti cinta untuk kamu?”tanya Mas Raka.
Aku menunduk, berusaha memahami arah pertanyaannya. Kuakui aku telah
melakukan hal yang sangat fatal. Aku telah jatuh cinta padanya. Pada seseorang
yang akan menjadi suami orang lain. Namun, bukankah kita tidak bisa memilih
pada siapa kita akan jatuh cinta.
“Ah, mas itu tanyanya aneh-aneh aja. Yang lebih tahu kan mas. Wong mas
kan yang sebentar lagi mau nikah.” Jawabku.
Mas Raka terdiam mendengar jawabanku
***
“Yah, dia memang benar. Aku ini sebentar lagi akan menikah.” Rutukku
dalam hati. Aku memang akan menikah dengan kekasih yang selalu mendampingiku
selama hampir sepuluh tahun. Tetapi kenapa perasaan ini hanya ada bila aku
bersama Viendra. Kekasihku adalah sahabatku sejak dulu. Awalnya kukira perasaan
yang aku rasakan padanya adalah cinta. Namun perasaan itu tidak ada apa-apanya
bila dibandingkan rasaku pada Viendra. Apa yang harus kulakukan?
What do you do
When your hearts in two places
You feel great but you’re torn
inside
You feel love but you just can’t
embrace it
When you found the right one
at the wrong time
***
Sore ini kami pergi ke sebuah taman. Berusaha mendamaikan hati kami
masing-masing. Kupandangi wajah Mas Raka. Semakin lama dia terlihat semakin
kurus dan tertekan. Aku bukannya tidak tahu apa yang dia rasakan. Perasaan kami
ini memang belum pernah saling terucapkan. Namun rupanya, hati kami berdua
sama-sama tahu apa yang kami rasakan.
“Viendra, coba kalo kita ketemu sepuluh tahun yang lalu.” Ucapnya
Aku tersenyum. “Kalau kita ketemu sepuluh tahun yang lalu, Mas barusan
lulus SMK, umur 18 tahun, aku masih kelas 2 SD, umur 7 tahun.” Sahutku sambil
tertawa miris
“Yah, berarti memang waktu yang serba tidak tepat mempertemukan kita,
Vien.”
Aku terdiam. Berusaha menahan serbuan air mata yang ingin menetes dari
sudut mataku.
“Bisakah aku meminta hal yang sangat egois Vien? Bisakah kita tetap
sedekat ini hingga waktunya tiba nanti. Bagaimana pun hancurnya hati kita
nantinya, bisakah kamu selalu ada disampingku, mendampingiku sampai akhirnya
nanti?”tanya Mas Raka.
Tak kuasa aku menahan air mataku. Aku tahu, pilihanku hanya ada dua.
Meninggalkannya sekarang, dan hatiku hancur dari sekarang, atau menerima
permintaannya, walaupun hatiku akan lebih hancur esoknya. Namun aku pun tahu,
aku terlalu egois untuk menolak permintaanya.
“Iya mas, aku janji, aku akan selalu ada disamping mas sampai saatnya
nanti.” Jawabku
***
Hari-hariku dan Viendra berjalan sangat cepat, tetapi juga sangat
indah. Aku sadar, aku sangat menyakiti hatinya. Viendra sudah selesai dari
magangnya dan kembali ke sekolahnya. Namun, aku selalu mencari alasan agar aku
bisa bertemu dan pergi bersamanya. Bahkan aku memintanya untuk menemaniku
berbelanja keperluan pernikahanku.
Viendra tidak pernah marah akan sikapku. Dia selalu berusaha menguatkanku
dengan senyumannya, dengan tawanya.
***
Besok, akhirnya hari itu tiba. Hari yang sangat ingin aku lewatkan dan
berharap hari itu tidak pernah ada. Namun, demikianlah kenyataannya. Manusia
hanya bisa berdoa dan berharap, tetapi semua adalah garis kehidupan yang sudah
Tuhan takdirkan untukku.
Sore ini Mas Raka menjemputku dari sekolah. Sepanjang perjalanan, dia
hanya diam membisu. Aku pun tidak sanggup untuk mencari bahan pembicaraan.
“Viendra,” Panggilnya memecah kesunyian.
Kupandangi wajahnya lekat-lekat. Berusaha menyimpan sebanyak mungkin di
memori otakku. Mungkin setelah ini aku tidak bisa bertemu dengannya lagi.
“Viendra, terima kasih kamu sudah menjadi penyemangat hari-hariku.
Terima kasih kamu selalu menerima semua keegoisanku. Mungkin aku memang tidak
berhak mengatakan ini Vien, tetapi aku ingin kamu tahu, aku cinta sama kamu.
Aku sangat sayang sama kamu. Maaf aku tidak bisa jadi seseorang yang lebih
berarti bagi kamu. Selama ini aku menunggu kamu memintaku untuk meninggalkan Ayu,
Vien. Kalau kamu meminta itu, saat itu juga aku akan langsung melakukannya.
Tapi aku tahu, kamu tidak akan pernah meminta itu dariku. Apabila aku melakukan
hal itu pun, aku tahu kamu malah akan membenciku.” Ucap Mas Raka.
Aku menarik nafas dalam-dalam.
“Mungkin kita memang hanya ditakdirkan jalan beriringan sampai disini
aja mas. Mbak Ayu jauh lebih lama mengenal mas. Hatiku memang sangat sakit,
mas. Tetapi hati mbak Ayu akan jauh lebih sakit apabila mas meninggalkannya.
Keluarga besar mas pasti juga akan menyalahkan mas. Aku tidak mau hal itu
terjadi. Aku percaya pada rencana Tuhan mas. Ini memang proses yang harus kita
jalani. Terima kasih untuk semuanya ya mas.”
Aku berusaha untuk tidak menangis dihadapannya. Bahkan ketika kulihat
matanya berkaca-kaca. Seorang Raka yang banyak dipuja wanita, menangis
dihadapanku.
Ketika mobilnya sudah tidak terlihat dari rumahku, air mata yang sedari tadi aku tahan, akhirnya
tumpah juga. Kulihat mama dan Kakakku, mereka pun ikut menangis bersamaku. Mama
segera memelukku. “Kamu kuat banget dek. Ini pembelajaran buat kamu ya. Mama
percaya kamu wanita yang kuat.”
***
If I should die before I wake
It’s cause you took may breath
away
Losing you is like living in a
world with no air
Tell me how
I’m supposed to breathe with no air?
Can’t live,
can’t breathe with no air
That’s how
I feel whenever you ain’t there
There’s no
air, no air
Semalaman aku tidak bisa memejamkan mataku. Air mataku tidak berhenti
keluar. Ini adalah resikoku karena menerima permintaan mas Raka. Menemaninya
hingga saatnya tiba, dan kini saat itu pun tiba. Hatiku benar-benar terasa
hancur berkeping-keping. Sudah beberapa kali aku menjalin hubungan. Namun baru
kali ini aku merasakan sesuatu yang sekompleks ini. Aku menyadari bahwa aku
memang bersalah sudah bermain api. Aku pun tidak pernah ingin merasakan hal
seperti ini.
Sekarang sudah jam 5 pagi. Dua jam lagi Mas Raka akan menjadi suami
dari seseorang yang sangat mencintainya.
Sayup-sayup terdengar Adele bernyanyi merdu. Someone like You. Itu
adalah nada dering khusus untuk Mas Raka.
Miris memang, tetapi memang lagu itu sangat mencerminkan perasaanku yang
ditinggal menikah oleh orang yang aku cintai.
Kulihat di layar handphoneku, tertera nama Mas Raka.
“Halo mas? Lagi ngapain sih mas, kok malah telepon aku?”
Mas Raka tidak segera menjawab pertanyaanku.
“Aku lagi lari-lari pagi sebelum dirias Vien. Aku ingin dengar suara
kamu.”
Aku menggigiti bibirku, mencoba menahan isak tangis.
“Haduh mas, udah mau jamnya kok malah lari-lari dulu. Cepetan kembali
ke rumah ya mas. Persiapan dirias biar mas jadi yang paling ganteng. Hehehe.”
Terdengar helaan nafas Mas Raka.
“Iya..iya..aku balik ke rumah ya. Doain acaranya sukses ya Vien.”
“Pasti dong mas. Yaudah mas, teleponnya ditutup dulu.”
“Pasti dong mas. Yaudah mas, teleponnya ditutup dulu.”
“Iya..iya bawel nih. Vien, kamu harus selalu bahagia ya. Harus lebih
bahagia daripada sekarang.”
Air mataku pun keluar lagi tanpa ampun.
“Iya mas. Aku janji. Mas juga harus selalu bahagia.”
***
“Vien, kamu mau ikut mama ke resepsinya Mas Raka?” tanya mama.
“Ya ikut lah ma. Aku siap-siap dulu.”
“Ya ikut lah ma. Aku siap-siap dulu.”
“Tapi nanti jangan pingsan loh ya.”
Aku memutar mataku. “Ya nggak lah ma. Aku kan juga nggak selemah itu.”
Aku datang ke resepsi mas Raka bersama mama dan Kakakku. Wajah mbak Ayu
terlihat sangat bercahaya karena bahagia.
“Selamat ya Mas.”
“Makasih ya Vien.” Kupandangi wajah mas Raka sambil tersenyum tulus.
Dia tidak perlu tahu jeritan hatiku melihat dia bersanding di pelaminan.
Mama menggandeng tanganku untuk turun dari pelaminan. Berusaha untuk
menguatkanku. Ini adalah keputusan yang sudah aku buat. Sama sekali tidak
terlihat tanda-tanda kesedihan di wajahku. Ku pasang topeng wajah tanpa
ekspresi untuk menutupi hatiku.
Lumpuhkanlah ingatanku,
hapuskan tentang dia
Ku ingin ku lupakannya
Ya Tuhan, bisakah aku mengalami lupa ingatan sebagian?
Melupakan saat-saat enam bulan terakhir ini
Saat-saat aku bersama dia
Kenangan yang sebenarnya sangat indah
Namun memiliki akhir yang sangat menyakitkan
***
Delapan bulan kemudian
“Vien...Viendraaa...bangun. Selamat ulang tahun adekku tersayang.”
“Aduh mbak Ve. Apaan sih mbak. Aku masih ngantuk banget. Lima menit
lagi deh banguninnya.”
“Lima menit apaan. Aku udah bangunin kamu dari setengah jam yang lalu,
kamu masih minta tambahan lima menit terus. Udah ah, ayo bangun sekarang. Udah
ditungguin mama loh.”
Aku mendengus. Kakakku memang paling susah dibantah. Aku pun
cepat-cepat bangun dan mandi.
Tidak terasa hari ini aku berulang tahun yang ke delapan belas. Saat
ini aku sudah resmi menjadi mahasiswa. Aku memulai kehidupan yang baru. Menutup
masa-masa SMA ku. Menjadi Viendra yang baru. Sejak resepsi pernikahan Mas Raka,
aku sudah tidak pernah berkomunikasi dengannya. Bukannya kami memutuskan tali
silaturahmi. Namun itu untuk menyembuhkan luka hati kami.
Ada beberapa laki-laki yang berusaha mendekatiku, tapi sampai saat ini
aku masih ingin berkonsentrasi kuliah. Mungkin memang karena belum ada yang benar-benar
berhasil masuk ke dalam hatiku. Teman-teman kampusku mengenalku sebagai perempuan yang dingin pada
laki-laki. Haha. Bukan bermaksud untuk menjadi dingin. Aku juga tidak bermaksud
menutup hatiku. Aku menjalani hariku apa adanya. Aku yakin suatu hari nanti
pasti aku akan menemukan seseorang, tapi aku tidak terburu-buru. Umurku baru 18
tahun. Aku masih sangat muda. Jalan hidupku masih sangat panjang. Saat ini aku
ingin fokus pada masa depanku saja.
Malamnya, keluargaku mengajakku untuk
merayakan ulang tahunku di resto favorit keluarga kami. Kami baru mulai makan
ketika suara Adele bernyanyi nyaring dari handphoneku. Aku terkesiap. Nada
dering itu. Kulirik layar handphone. Aku menghela nafas. Ini benar-benar dari
dia. Kukuatkan hatiku.
“Halo.”
“Selamat ulang tahun ya Vien.”
“Emm, makasih ya mas.”
“Kamu lagi pergi ya?”
“Iya mas, ini lagi pergi makan sama keluarga.”
Terdengar helaan nafas dari seberang telepon.
“Sebenarnya ini aku lagi di depan rumahmu.”
Aku benar-benar terkejut. Aku tidak menyangka dia akan datang, dan juga
mengingat hari ulang tahunku.
“Halo Vien?”
“Ah iya Mas, tapi ini aku masih pergi. Aku belum bisa pulang sekarang.
Maaf ya Mas.”
“Hehehe. Iya Vien, gak papa. Aku sih yang salah nggak nanya ke kamu
dulu. Ya udah, aku pulang dulu ya Vien.”
Kututup teleponku.
“Mas Raka, Vien?” tanya Mbak Ve.
“Iya Mbak, aku ke toilet dulu ya.”
Aku segera berjalan ke arah toilet. Aku tidak ingin keluargaku
melihatku menangis lagi. Ya Tuhan, aku sangat merindukannya. Aku sangat ingin
bertemu dengannya. Melihat wajahnya. Mengobrol dengannya. Bercerita tentang
banyak hal padanya. Namun, apabila aku melakukan hal itu, apabila aku bertemu
dengannya, itu sama saja menghancurkan hatiku lagi. Aku akan kembali seperti
waktu itu lagi. Rasanya seperti mengkhianati perjuanganku selama ini. Aku
memang ingin suatu hari nanti bertemu dengannya, tapi pada saat itu ketika
hatiku sudah benar-benar tertata dengan baik.
Sesampainya di rumah, ada bungkusan tergeletak
di meja terasku. Selain bungkusan itu, ada kotak kue ulang tahun. Tanpa
menyentuhnya pun aku tahu, dari siapa barang itu. Mama mengambil bungkusan itu
dan menyerahkannya padaku. Kubuka bungkusan itu dan terkesiap. Bungkusan itu
berisi buku-buku yang sangat ingin aku miliki. Air mataku pun menetes perlahan.
Aku bahkan tidak pernah bercerita padanya tentang keinginanku akan buku-buku
itu. Dia memang seseorang yang sangat
mengenalku.
***
Sudah setahun dari kejadian itu. Saat ini
aku benar-benar sudah bisa melupakan sakit yang aku rasakan. Sekarang sudah ada
seseorang yang mulai mengisi hatiku. Hatiku selalu hangat bila mengingatnya.
“Vien, istrinya Mas Raka udah melahirkan.” Cerita mama.
“Kok mama tahu?”
“Iya, tadi pagi Mas Raka sms mama. Alhamdulillah. Bayinya laki-laki.”
Aku tersenyum membayangkan mas Raka yang sekarang sudah menjadi seorang
ayah. Aku ikut bahagia untuk mereka. Istri mas Raka sempat mengalami keguguran
dan saat ini keluarga mereka sudah semakin lengkap.
Kenangan tentang mas Raka selalu berada di
dua sisi pada hatiku. Kenangan yang menyakitkan, tetapi juga kenangan yang
indah. Dia sudah mengajariku menjadi perempuan yang semakin mampu berpikir
dewasa. Kenangan yang awalnya sangat ingin aku lupakan. Namun saat ini mampu
aku kenang sebagai cerita yang membuat hidupku semakin berwarna dan indah.
***
Hari ini adikku, Angga, melangsungkan
prosesi wisuda dari kampusnya. Sudah jauh-jauh hari Ibu memintaku dan Ayu untuk
datang ke acara wisuda adikku satu-satunya. Ibu menangis haru ketika melihat
Angga dinyatakan sebagai lulusan terbaik.
Ketika prosesi selesai, Angga menggandeng
seorang gadis dan berjalan kearah kami. Aku tertegun melihat wajah gadis itu.
Aku tidak akan pernah lupa akan tawanya. Gadis itu tidak melihat ke arahku.
Mungkin dia belum menyadari keberadaanku.
“Ibu, Mas Raka, kenalin ini Viendra,
pacarku.” Angga berkata dengan bahagia.
THE END
Tidak ada komentar:
Posting Komentar