Rabu, 16 April 2014

Goresan Luka Hati -3


Akhirnya Dewangga benar-benar kembali ke Indonesia, setelah bertahun-tahun menimba ilmu dan mendulang emas di negeri orang. Saat ini hanya satu orang yang benar-benar ia rindukan.

Bahkan setelah bertahun-tahun Dewangga berusaha menghilang dari hidupnya, gambaran wajahnya selalu terbayang, tersimpan rapat dalam otak dan hatinya. Dewangga termenung. Mengingat gadis yang sudah bertahun-tahun mencuri hatinya dengan sangat telak.

“Pak, kita ke jalan Gading dulu ya,” ucapnya pada Pak Anto, supir keluarga yang menjemputnya di bandara.

Sekembalinya ke kota kelahirannya, hal pertama yang dilakukan Dewangga adalah mencari Riani. Ia butuh melihatnya, walaupun hanya sekilas. Tidak pernah ada seorang wanita pun yang sanggup mengikis perasaannya untuk Riani. Beberapa kali ia menjalin hubungan yang cukup dekat dengan wanita lain, tapi tidak pernah bertahan lama karena Dewangga tidak bisa bersikap layaknya kekasih pada mereka.

Rumah Riani ada di pinggir jalan raya, sehingga memudahkannya bila ingin melihatnya tanpa bertemu langsung dengan Riani. Mungkin sikapnya ini sudah seperti orang psikopat, tapi ia tidak peduli. Dewangga meminta pak Anto untuk menepi di dekat warung di seberang rumah Riani. Ia mengambil kameranya, mempersiapkannya bila Riani muncul. Hari minggu seperti ini, ia yakin Riani pasti ada dirumah. Dia adalah tipe wanita rumahan.

Tiba-tiba ia melihat seseorang keluar dari rumah itu sembari menenteng penyiram tanaman. Ia merasakan jantungnya berdegup sangat cepat, sudah bertahun-tahun ia tidak melihatnya, dan sekarang ia ada di depan matanya. Dia tetap secantik yang  ia ingat. Bola matanya yang hitam, hidungnya yang mungil, tatapannya yang sanggup mengiris-iris hatinya. Senyumnya yang bisa membuat semua masalah Dewangga seperti menghilang. Namun memang, selama ia mengenalnya, sangat jarang senyuman manis itu terpasang di wajahnya. Hanya matanya yang berkaca-kaca yang menandakan kesedihannya yang sering terlihat di wajahnya. Ia memang hanya bisa melihatnya dari jauh, namun itu sudah cukup bagi Dewangga untuk mengobati rindunya.

Riani, apakah sekarang kamu sudah bisa memaafkanku? tanyanya lirih dalam hati.

**

Sudah beberapa minggu ini Riani berangkat dan pulang bersama Kevin dan papanya, Ian. Riani semakin salut pada usaha Ian untuk membagi waktunya untuk Kevin dan pekerjaannya. Sesibuk apapun, ia akan selalu meluangkan waktunya untuk Kevin. Ia tidak ingin insiden yang menimpa Kevin dulu terulang lagi. Sebenarnya Riani risih selalu merepotkan Ian, tetapi Kevin benar-benar tidak membiarkan Riani sendiri.

Eyang dan mama juga sudah mengenal Kevin. Tidak jarang Kevin datang kerumah Riani dan bermain-main dengan mereka. Semenjak mengenal Kevin, mama terlihat lebih bahagia dan jarang melamun lagi. Mungkin kehadiran Kevin jauh lebih ampuh dibandingkan obat anti depresi apapun bagi mama.

Hari minggu ini seperti biasanya Riani habiskan dengan bersantai di rumah. Ia tidak terlalu senang untuk pergi keluar, kecuali pergi ke bioskop dan toko buku. Riani memang penggemar berat film dan buku. Kedua hobi dimana ia benar-benar bisa masuk ke dalam dunia imajinasi, membayangkan memiliki kehidupan-kehidupan luar biasa seperti di dalam film atau buku. Bukannya tidak mensyukuri kehidupannya, tetapi ada kalanya ketika ia merasa jenuh pada hidupnya, Riani bisa melampiaskannya dengan imajinasi-imajinasinya.

Semua proses dalam hidupnya mengajarkan Riani untuk menerima dan bersyukur. Masih banyak orang-orang yang mengalami proses kehidupan dengan lebih keras. Setidaknya diluar bayang-bayang kelam dulu, Riani masih memiliki orang-orang yang menyayanginya, dan ia akan melakukan apapun untuk melindungi mereka.

Riani sangat suka berkebun. Menanam bibit-bibit tanaman, menyiraminya, melihat pertumbuhan tanaman-tanamannya, mungkin seperti melihat pertumbuhan anaknya besok. Riani sedang menyirami tanaman sembari bersenandung pelan ketika melihat mobil mewah yang berhenti di seberang rumahnya. Ia merasa seperti ada seseorang sedang mengawasi rumahnya. Riani menggeleng-gelengkan kepalanya, sepertinya ia berpikir berlebihan.

**

Kevin menggandeng tangan Riani begitu erat. Ia terlihat sedikit ketakutan berada di dalam bus kota. Riani merasakan tangan Kevin sedikit gemetaran, ia pun mengusap tangan kecil Kevin perlahan untuk menenangkannya.

Tadi pagi Ian mengatakan bahwa siang ini ia akan mengikuti sebuah rapat yang sangat penting sehingga ia akan menyuruh supirnya untuk menjemput Riani dan Kevin. Riani pun menawarkan diri untuk mengantar Kevin pulang dan meminta ijin pada Ian untuk memberikan sedikit pengalaman pada Kevin untuk pulang dengan bus kota.

“Kevin belum pernah kan naik bus kota?”

“Belum pernah, Bu.”

“Naik bus itu enak lho Kevin, kita bisa bertemu dengan banyak orang. Bahkan ibu pernah mendapatkan teman ketika ibu naik bus kota ini.”

Kevin terdiam, “Kevin takut kalau ketemu orang jahat, Bu,” Kevin menjawab lirih.

Riani tersenyum. Ia pun dulu pernah merasa ketakutan bila bertemu orang-orang baru. Terkadang perasaan takut itu masih sering muncul. Namun ia semakin belajar untuk mengendalikannya.

“Di dunia ini, sebenarnya tidak ada orang yang benar-benar jahat, Kevin. Kita harus benar-benar mengenal mereka dulu, baru kita berhak menilai seorang itu jahat atau baik.”

Kevin pun mengangguk-angguk, “Tapi dari pertama aku liat Bu Riani, aku langsung tahu kalau Ibu itu baik,ujarnya sembari menyandarkan kepalanya pada lengan Riani.

Riani melirik Kevin, sepertinya Kevin benar-benar sudah mengantuk. Sebentar saja ia sudah tertidur lelap. Sebenarnya Kevin ini mengingatkannya pada seorang teman masa kecilnya. Satu-satunya anak lelaki yang pernah menjadi sahabatnya. Namun ternyata sahabatnya itulah yang menjadi salah satu penyebab traumanya. Tidak hanya sekali waktu Riani teringat padanya. Sebenarnya ia ingin bertemu lagi dengannya, tetapi Riani tidak tahu apakah ia akan sanggup bila suatu saat benar-benar bertemu ia lagi. Dewangga, laki-laki yang sangat ia benci, tetapi juga diam-diam ia rindukan.

Part- 2
Part-4 

Jumat, 11 April 2014

Our LO(ST)VE Story - BAB III

BAB III
Surat Cinta? Hmm..

                Yak, dan malam ini aku benar-benar harus memeras otakku.  Semenjak dua jam yang lalu aku masih belum menuliskan apa-apa di kertas. Seumur-umur aku belum pernah membuat surat cinta untuk siapa pun. Apalagi ini untuk dia. Aku berusaha mencari kata-kata yang indah, tapi tidak norak dan berlebihan.
             
                  Kuambil handphoneku, kutekan speed dial 2. Setelah nada sambung ketiga, terdengar suara dari seberang telepon.

“Riooooo,kamu udah mau tidur ya?”

“Bukan udah mau tidur, Ve, tapi udah tidur. Kenapa telepon malem-malem?”

“Hehehe, sori Yo, aku bingung soalnya mau nanya ke siapa. Makanya telepon kamu.”

“Hadeh, iya tau kok, siapa lagi yang mau kamu gangguin malem-malem gini kalo bukan aku.”

“Makanya itu Rio yang paling cakep, paling baik, bantuin aku buat surat cinta dong.”

“Heh, buat apaan? Emangnya aku keliatan kayak orang yang suka nulis surat cinta ya?”

“Ya nggak sih Yo, kasih masukan aja, aku harus nulis model apaan biar gak keliatan norak kalo dibaca sama cowok. Tugas mos nih. Nyebelin hari terakhir malah tugasnya aneh-aneh aja.”

“Ooh, tulis lirik lagu aja Ve, biar gampang.”

“Eh iya ya Yo, aduuh kamu tuh emang yang paling super deh, tapi lagu yang  apa Yo?”

“Cari sendiri aja Ve, aku udah super ngantuk nih. Kamu juga jangan tidur kemaleman Ve.”

“Hehehehe, iya Rio sayang, selamat tidur ya, mimpi indah, maaf udah gangguin kamu tidur. Makasih ya Yo.”

                Rio memang yang paling bisa aku andalkan. Oke, sekarang tinggal mencari lagu yang kira-kira cocok. Ku ambil majalah sekolahku, barangkali aku bisa menemukan inspirasi di situ. Di halaman paling belakang, aku menemukan lirik sebuah lagu cinta. Sepertinya lirik itu bisa kutulis dalam tugas surat cinta ini.

 ***

Ah, pasti Ve mau mengirimkan surat cintanya untuk mas Titto. Tidak kupungkiri perasaanku sedikit tersayat mendengar kabar itu. Entah sejak kapan aku menyayangi Ve melebihi sahabat. Namun aku tahu bagaimana perasaannya pada mas Titto. Tidak mungkin tiba-tiba mengungkapkan perasaanku padanya. Apalagi sekarang dia bersekolah di sekolah yang sama dengan mas Titto. Aku mengenal mas Titto sejak aku kecil. Seringkali dia melihat aku bersama Ve. Mungkin itu yang membuat dia berpikiran bila aku dan Ve berpacaran.

Ku tatap tumpukan kertas di meja belajarku. Semenjak aku mulai memahami perasaanku untuk Ve, aku mulai menuliskan surat untuknya. Semua hal yang tidak bisa aku ungkapkan secara langsung padanya. Namun semua surat-surat itu hanya akan selalu berada di kamarku.  Aku tidak mau persahabatanku dengan Ve rusak bila aku mengungkapkan semua rasaku padanya. Satu-satu hal yang bisa aku lakukan hanyalah selalu berada di sisinya. Walaupun mungkin aku akan merasakan sakit karena sikap pengecutku ini.


***

“Ve, mana liat suratmu. Jadinya kamu nulis buat siapa?” Tanya Viona.

Aku tersenyum simpul. Aku masih tidak yakin akan mengumpulkan surat itu. Bagaimana bila Mas Titto menganggap itu serius dan memberikan jawaban padaku? Tenang Ve, dia pasti hanya akan menganggap itu hanyalah tugas semata.

“Untuk Kak Steve dong. Kamu nulis untuk siapa Na?” tanyaku. Aku tidak mengerti kenapa aku memilih berbohong pada Viona. Ya sudah lah. Surat itu tidak akan dibaca di depan umum kan.

“Aku nulis untuk kak Tera, hehehe. Ya siapa tahu dia bakal bales suratku.” Ujar Viona.

“Hu, dasar ngarep nih.” Aku tertawa melihat sikap Viona.

“Selamat pagi semuanya. Udah pada siap surat cintanya? Jangan lupa di amplopnya ditulis nama senior yang mau kalian kasih suratnya, ya. Foto kalian juga jangan ketinggalan, barangkali senior yang kalian berikan surat itu ingin berkenalan langsung dengan kalian.” Kak Mina bertanya sembari tersenyum.

“Kak, tapi suratnya nggak akan dibaca di depan umum kan?” Tanya Reina, ketua kelompokku.

“Tenang aja, nggak kok. Nanti surat-surat itu akan langsung kita kasihkan ke masing-masing penerimanya. Ayo sekarang maju satu-satu, suratnya dikumpulin di kotak ini.” Kak Mina menggoyang-goyangkan kotak yang ia bawa.

Kupandangi suratku. Aku belum menuliskan nama penerima di amplop ini. Cepat-cepat kutuliskan nama ketika Viona sedang maju mengumpulkan suratnya. Aku pun maju perlahan. Segera kumasukkan suratku pada kotak itu.

Walaupun  ini hanya sekedar tugas, namun rasanya benar-benar seperti mengirim surat sungguhan untuk dia. Semoga dia tidak menganggap ini serius. Bisa mati kutu aku bila dia membahas surat itu di depanku.

***

DI ruang OSIS

“Semua suratnya udah dibagi ya. Jadi yang dapet paling banyak, Steve dapet 56 surat, Tera dapet 49 surat, Titto dapet 45. Jangan lupa dibaca satu-satu. Mungkin aja nanti ada yang bisa jadi pasangan gara-gara surat cinta ini. Hahaha.” ujar Meisya sembari tertawa pelan.

Aku mendengus. Empat puluh lima surat harus aku baca satu persatu? Seperti aku masih ada kelebihan waktu saja. Tapi sepertinya aku harus menghargai mereka yang sudah bersusah payah menulis untukku. Aku pun segera meninggalkan ruang OSIS. Aku menuju ke parkiran motor untuk mengambil motor kesayanganku.

Di gerbang sekolah, kulihat Ve sedang duduk bertopang dagu. Sepertinya dia masih menunggu jemputan. Ketika aku baru akan menghampirinya, kulihat jeep hitam menepi. Ve pun segera masuk ke dalam mobil. Lagi-lagi Ve dijemput oleh Rio.

Semenjak dulu aku mengetahui bahwa Rio adalah sahabat Ve. Namun, sikap mereka berdua lebih seperti sepasang kekasih daripada sepasang sahabat. Kuakui aku memang memiliki ketertarikan lebih pada Verisya. Ketika kulihat dia menjadi yuniorku, ada bagian dari hatiku yang merasa sedikit gembira. Melihatnya setiap hari, dengan rambut kucir duanya, membuat hari-hariku semakin lebih bersemangat. Seringkali aku sengaja masuk ke kelasnya hanya untuk melihatnya. Aku pun penasaran siapa penerima surat darinya.

Sesampainya di rumah, aku segera membuka surat-surat itu. Sepertinya akan memakan waktu yang cukup lama. Sebagian dari mereka hanya menuliskan kalimat-kalimat pendek seperti, I love You, Kak, dan sebagainya. Beberapa dari mereka memberikan foto-foto yang kuakui lumayan cantik. Namun entah kenapa aku tidak merasa tertarik. Sepucuk surat dengan amplop biru menarik perhatianku. Aku menggeleng-gelengkan kepala sembari tersenyum. Aku tidak habis pikir, anak SMA masih menggunakan amplop bergambar Mickey Mouse.

Aku tak bisa luluhkan hatimu
Dan aku tak bisa menyentuh cintamu
Seiring jejak kakiku bergetar
Aku tlah terpaku oleh cintamu
Menelusup hariku dengan harapan
Namun kau masih terdiam membisu

Sepenuhnya aku..ingin memelukmu
Mendekap penuh harapan tuk mencintaimu
Setulusnya aku ..akan terus menunggu
Menanti sebuah jwaban tuk memilikimu

Semoga kau tau isi hatiku
Padi-Menanti Sebuah Jawaban
Maaf Kak, aku cuma bisa nulis dari lirik lagu, tapi lirik lagu itu benar-benar sesuai sama yang aku rasain ke Kakak.
               
With Love,
Verisya


                Aku terpaku menatap barisan kata itu. Verisya, menulis surat untukku. Ve menulis surat ini benar-benar sesuai dengan perasaannya, seperti yang dia tulis, atau hanya untuk tugas saja? Aku menghela nafas panjang. Ku ambil foto dari dalam amplop, dia terlihat sangat cantik di foto itu, terlihat begitu ceria.

BAB II

Our LO(ST)VE Story - BAB II

BAB II
M.O.S

Hari ini sudah hari kedua masa orientasi sekolah. Sejauh ini berjalan dengan lancar. Tugas yang diberikan senior juga tidak terlalu sulit. Walaupun setiap hari aku harus menanggung sedikit malu karena penampilan yang diwajibkan selama orientasi, itu semua sebanding dengan kegembiraanku berhasil masuk ke sekolah ini. Rambut kucir dua dan tas dari karung gandum cukup memperlihatkan bahwa aku seorang anak baru yang sedang di orientasi. Memang kuakui penampilanku dengan rambut kucir dua membuatku terlihat lebih imut, jadi kunikmati saja. Hahaha. Tidak mungkin kan besok-besok aku menguncir dua rambutku lagi. Bisa-bisa aku dianggap sebagai anak yang suka mencari perhatian dan dimusuhi oleh kakak-kakak kelas. 
                
          Selama mos ini, kami diharuskan mencari tandatangan dari semua anak OSIS. Untungnya aku sudah berhasil mendapatkan sebagian besar tandatangan. Ah ya, aku juga belum meminta tandatangan Mas Titto. Kemanapun dia pergi, dia selalu diikuti oleh siswa-siswa baru yang menganggapnya idola baru. Aku tidak menyangka, reputasinya di kalangan siswa baru cukup tinggi, bahkan bersaing dengan Kak Steve, yang merupakan senior tertampan. Mungkin karena jabatannya di OSIS yang cukup tinggi, atau mungkin karena sikapnya yang ramah pada semua orang.
     
                Dua hari ini sebenarnya dia cukup sering memasuki kelasku. Bahkan di setiap waktu istirahat, dia pasti berada di kelasku. Sampai-sampai Kak Yani, pasangan pendampingnya, memarahinya. Terang saja aku merasa sedikit kegeeran akan sikapnya. Namun, aku tidak berani berharap lebih.
     
           Kulirik daftar nama senior milikku. Hanya kurang lima nama lagi, milikku sudah selesai dan dapat dikumpulkan. Kulihat Mas Titto sedang duduk sendirian di depan kelas X.4. aku menarik nafas dalam-dalam, berusaha menghilangkan semua kegugupanku bila bertemu dengannya.

“Siang Kak, saya bisa minta tandatangannya?” tanyaku sembari tersenyum berusaha menenangkan debaran 
jantungku.

“Eh Ve, ya bolehlah. Oh iya Ve, kalo didepan aku aja, manggil Mas kayak biasanya juga gak papa kok.”

“Oh, nggak papa aku manggil Kakak. Mumpung masih MOS, kalo udah nggak MOS kan gak bisa manggil Kakak lagi. Hehehe.”

Aduuuh apaan sih Ve, ngomong kok aneh gitu, omelku dalam hati.

“Hahaha, kamu bisa aja Ve. Mana sini daftar namamu, aku tandatanganin dulu.”

“Ini kak.” Ucapku sembari menyerahkan daftar namaku. “Emm, Kak, kalo Kak Mini itu yang mana ya?”

“Masak sih kamu nggak tahu Kak Mini? Kak Mini itu nama lengkapnya Kak Tumini. Dia kan yang sering muter-muter kelas.”

Aku memutar mataku. Ya jelaslah aku tidak tahu. Dia selalu mengenalkan diri sebagai Kak Mini. Bahkan nama di seragamnya tertulis Mini. Bukan Tumini.

“Oh, kalo Kak Mini, tahu kok Kak. Yaudah Kak, makasih banget ya.”

“Iya sama-sama. Yaudah abis ini cepetan masuk kelas loh Ve, mau dikasih daftar barang-barang yang perlu kamu bawa besok.”

“Iya Kak. Mari Kak.”

“Ve, masuk kelas yuk.”

Aku menoleh, kulihat Viona berlari-lari kecil kearahku.

“Aku duluan ya Ve,” ucap Mas Titto.

Kupandangi lekat sosok tubuhnya yang perlahan menjauhiku. Jantungku pun masih berdebar-debar dengan kencangnya. Entah sampai kapan dia akan mempengaruhi hingga seperti ini.

***

“Selamat siang semuanya. Untuk besok, ada tugas istimewa untuk kalian. Besok kalian wajib membawa surat cinta yang sudah kalian buat untuk salah satu senior disini. Kalian boleh memilih senior yang ingin kalian berikan surat cinta. Yah, anggap saja ini seperti kesempatan kalian mengungkapkan perasaan pada salah satu senior yang mungkin kalian kagumi. Jangan lupa, wajib disertakan foto kalian yang paling cantik atau cakep menurut kalian.” Ujar Kak Steve.

“Hah, surat cinta? Aduh, aku harus ngasih ke siapa?” ujarku kebingungan.

“Kan banyak pilihan, Ve. Ada kak Steve, kak Tera, mungkin juga bisa ke kak Titto. Oh iya Ve, emangnya kamu udah kenal ya sama kak Titto? Tadi kayaknya udah akrab banget?” tanya Viona

“Oh, kak Titto dulu kakak kelasku waktu SD, Na. Eh, kamu mau ngasih ke siapa? Jangan bilang ngasih ke Kak Steve?” Ucapku berusaha mengalihkan pembicaraan.

                Aku memang tidak pernah bercerita tentang kak Titto pada siapa pun, kecuali Rio. Menurutku tidak semua orang bisa memahami apa yang kurasakan pada Kak Titto. Disaat teman-temanku sudah memiliki kekasih, aku selalu menolak lelaki yang berusaha mendekatiku. Yah, sekali lagi kecuali Rio. Sejak pertama aku mengenalnya aku sudah merasa nyaman didekatnya. Rio sudah menjadi teman dekatku sejak kelas 1 SMP. Tidak sedikit teman-temanku yang meragukan persahabatan kami.

“Hmm, aku galau deh Ve. Pas awal MOS aku naksir berat sama kak Steve, tapi sekarang aku lebih tertarik ke Kak Tera deh. Kak Tera itu kesannya lebih gimana gitu loh Ve, lebih misterius. Hehehe.”


“Ih dasar ganjen, yaudah sana buat untuk dua-duanya aja daripada bingung.” Ujarku sembari menggeleng-gelengkan kepala melihat sikap Viona.  Aku melihat ke sekelilingku. Ternyata sebagian besar perempuan di kelasku juga terlihat antusias sekaligus kebingungan.


OUR LO(ST)VE STORY - Bab I

BAB I

Pertemuan Dengan Dia

“Aduh, mati aku. Hari pembukaan orientasi kok malah bangun kesiangan.”

Aku berlari menyusuri halaman SMA Bina Bangsa Nusantara sembari mencari-cari letak aula besar, tempat diadakannya pembukaan orientasi siswa baru. Ketika kulihat pintu belakang aula, aku menarik nafas dengan lega. Dengan terburu-buru, aku langsung mencari teman-temanku yang sama-sama berhasil masuk ke sekolah paling bergengsi ini.

“Ve, sini cepetan. Sebelum kakak-kakak senior liat.” Panggil Viona.

“Bangun kesiangan lagi ya Ve? Dasar kebiasaan jelek dipelihara terus.” Gerutu Viona.

“Iya nih, parah banget. Untung belum dimulai ya Na.” Sahutku sambil tertawa pelan.

Kakak-kakak senior pun memulai pembukaan orientasi. Mereka membagi kami menjadi sepuluh kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 40 orang. Selama satu minggu orientasi, kami akan selalu bersama-sama dengan teman sekelompok kami. Beruntungnya aku dan teman-temanku sama-sama masuk di kelompok yang sama. Kelompok X.5. Kami pun disuruh mencatat peralatan yang wajib kami pakai selama masa orientasi.

“Jadi gitu ya adek-adek. Udah paham semua kan. Oh iya, jangan lupa, selama masa orientasi, kalian harus sampai depan gerbang sekolah maksimal jam 5 pagi. Sekarang semuanya kumpul sesuai kelompoknya, dan setelah ini masing-masing kelompok menuju ke kelas yang udah ditentukan.”

Setelah semua siswa orientasi sudah berkumpul di kelompoknya masing-masing, kami dituntun beberapa senior menuju kelas. Di depan kelas X.4, aku melihatnya. Sosok yang aku kagumi ketika aku kecil. Mas Titto.

“Ve, kamu masuk sini juga akhirnya. Dapet kelas berapa?” tanyanya.

“Aku kelas X.5, Kak.”

“Oh, sama Kak Mina ya. Aku pembina X.4. Yaudah sana masuk dulu ke kelas.”

Aku tersenyum padanya. Mencoba menutupi debaran jantungnya yang tiba-tiba menggila. Sudah bertahun-tahun, dan pengaruhnya terhadapku tidak pernah hilang.

“Ve, lihat deh pembina kita. Cakepnya selangit ih. Udah tinggi, putih, badannya atletis banget.” Ujar Viona.

“Ih dasar ganjen. Belom tentu juga dia ngelirik kamu. Apalagi sekarang tipe-tipe cowok yang gitu malah kebanyakan naksir cowok juga loh.” Aku tertawa melihat wajah Viona yang ditekuk mendengar perkataanku.

“Selamat pagi adek-adek. Perkenalkan nama saya Steve, dan rekan saya Mina. Selama masa orientasi ini, kami akan menjadi pembina kalian dan kalian menjadi tanggung jawab kami. Ada lagi yang ingin ditanyakan?”

“Perkenalan secara lengkap dong Kak.” Celetuk seseorang yang duduk di pojok belakang.

“Ah, ya. Nama saya Steve, saya kelas XII IA 3. Jabatan saya di OSIS adalah Kasubsie Basket.”

“Selamat pagi adik-adik. Nama saya Mina, kelas XII IS 5. Jabatan saya di OSIS sebagai Kasubsie Modern Dance. Perkenalan dari kami sudah cukup, sekarang perkenalan dari adik-adik ya, maju urut dari yang di pojok depan sebelah kanan. Sebutkan nama, tanggal lahir, alamat rumah, no telepon, dan juga asal sekolah.”

Kami pun maju satu persatu untuk memperkenalkan diri.

“Oke, adik-adik. Sampai ketemu hari Senin ya. Jangan sampe ada yang ketinggalan ya barang-barang yang harus dibawa.”

Kelas pun dibubarkan. Aku segera mengirim pesan pada Rio, sahabatku. Dia berjanji akan menjemputku sepulang sekolah. Aku berjalan menuju gerbang SMA Bina Bangsa NusanTera. Disana aku bertemu dengan teman-teman yang berasal dari sekolah yang sama denganku.

“Ve, kamu belum pulang?” terdengar suara dari belakangku. Aku menoleh mencari asal suara itu.

“Oh, Mas Titto. Eh Kak, belum Kak, aku masih nunggu jemputan.”

“Siapa yang jemput? Apa aku anter pulang sekalian yuk.” Ajaknya.

“Mmm, aku dijemput sama Rio, Kak. Dia udah perjalanan kesini soalnya.”

Aduuuuh, demi semua manusia yang ada di bumi. Aku terpaksa menolak ajakannya. Aku menggigit bibirku, merasa sangat menyesal.

“Kamu masih sama Rio, ya Ve. Pacaran kalian awet banget”.

“Eh, kita nggak pacaran, Kak. Kita sahabatan.”

“Hmm, gitu ya. Itu Rio udah sampe. Hati-hati dijalan ya Ve, aku pulang duluan.”

Aku memandangi kepergiannya. Membayangkan bila aku menerima ajakannya. Mas Titto selalu terasa jauh untuk dijangkau. Aku mengenalnya sejak aku baru pindah ke kota ini kelas 4 SD. Dia adalah teman seantar jemputku dan kakak kelasku ketika SD. Semenjak dulu aku sudah mengaguminya. Dia bukan seseorang dengan wajah yang sanggup melelehkan hati setiap wanita. Namun, entah kenapa dia sanggup menarik perhatianku.

“Ve, kalo ngelamun jangan kelamaan,” Tegur Rio.

Aku berbalik. Melihat Rio di sudah menungguku. Dia pasti juga melihat Mas Titto. Rio adalah sahabatku. Dialah satu-satunya orang yang mengetahui perasaanku pada Mas Titto. Rio dengan sabar selalu mendengarkan semua curhatanku tentangnya. Rumah Mas Titto dekat dengan rumah Rio, seringkali aku sengaja main ke rumah Rio dengan harapan dapat bertemu dengan Mas Titto, dan apabila aku berhasil melihatnya, walau hanya sekilas, aku pasti akan melompat-lompat kegirangan.

“Ayo cepetan pulang Ve, keburu tambah panas nih,” Gerutu Rio.

“Iya..iya bawel banget sih. Nggak tahu apa orang lagi bahagia.”

“Hmm, bahagia gara-gara satu sekolah sama Mas Titto? Bahagia semu tuh namanya.”

“Huh, apaan si Yo, kamu tu memang nyebelin.” Aku memukul lengan Rio pelan.

“Nyebelin, tapi yang paling sayang sama kamu.” Ujar Rio cengengesan.

“Ah udah deh ngegombalnya. Pulang sekarang yuk Pak Ojek. Hehehe.”

“Heh, enak aja tukang ojek. Yaudah tuan putri cepetan naik motorku yang jelek ini ya.”

Aku tertawa dan segera menaiki motornya.

“Jangan lupa pegangannya.”


Kurasakan tangan Rio menarik tanganku, membawa tanganku  pada pinggangnya.