Senin, 18 Agustus 2014

Goresan Luka Hati- 5

               Acara pentas seni tahunan di SLB Bhakti Bangsa akan segera diselenggarakan. Setiap tahunnya, para siswa akan menunjukkan segala kebolehan mereka. Acara ini dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan diri bagi semua siswa.
            Sejak pagi Riani sudah sibuk mengatur auditorium menjadi panggung yang istimewa bagi siswa-siswanya. Semua anak-anak secara bergantian akan menjadi pengisi acara tahunan itu. Riani melihat Bu Janis sedang sibuk dengan ponselnya, ia seperti sedang kebingungan. Riani pun menghampirinya, mencari tahu hal yang merisaukan Bu Janis.
            “Ada apa Bu?” Riani bertanya setelah Bu Janis menutup ponselnya.
            “Fotografer langganan kita tiba-tiba membatalkan janjinya, jadi tadi saya kebingungan harus mencari fotografer di mana, Riani.”
            “Lalu sekarang bagaimana Bu? Sudah dapat?”
            “Untungnya sudah, Ri. Ibu baru ingat kalau ibu punya saudara yang jadi fotografer. Tadi ibu sudah menghubunginya, dan dia bersedia. Kira-kira satu jam lagi dia akan sampai di sini,” ujar Janis sembari tersenyum.

**
            Dewangga baru saja selesai berolahraga ketika ponselnya berbunyi. Ia mengambilnya dan mengerutkan kening melihat nama seseorang yang menghubunginya.
            “Halo Mbak Janis,” sapa Dewangga.
            “Angga, kamu sekarang masih dirumah kan?”
            “Masih Mbak, kenapa?”
            “Angga, tolongin Mbak dong. Di sekolah Mbak mau ada acara pentas seni, tolong kamu jadi fotografernya ya,” pinta Janis.
            “Wah, nyewa aku biayanya mahal lho mbak,” sahut Angga terkekeh.
            “Biaya berapapun mbak bayar deh, yang pasti satu jam lagi kamu harus udah sampai di sini.”
            “Satu jam? Ini aku belum mandi mbak, lagian jarak rumah ke sekolahnya mbak lumayan jauh lho.”
            “Pokoknya satu jam lagi, titik.”
            Angga mendengar Janis menutup teleponnya seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tertawa melihat sikap Janis yang tetap sama seperti dulu. Memang sebagian besar keluarganya adalah seseorang yang senang memaksa orang lain menuruti kehendaknya.

**
            Angga sedang berjalan memasuki gedung SLB Bhakti Bangsa dan ia terkagum-kagum melihat sekolah yang didirikan saudaranya itu berhasil berkembang secara pesat. Mbak Janis benar-benar berusaha menciptakan suasana yang sangat nyaman bagi murid-muridnya.
Suasana sekolah terasa sangat nyaman dengan banyaknya pepohonan yang tumbuh dan dipelihara secara rapi di sekelilingnya. Ada beberapa gazebo mengelilingi air mancur di taman sekolah. Belum lagi beraneka ragam bunga menambah keindahan sekolah itu.
            Dewangga tertegun, melihat sesosok wanita yang sedang berjalan ke arahnya sembari membaca buku yang ia pegang dengan serius, seperti tidak memperhatikan kondisi sekitarnya. Ia tidak percaya dengan penglihatannya. Namun ia yakin, ia tidak akan pernah salah mengenali seseorang yang sudah bertahun-tahun ada di hatinya.
            Ia merasakan seperti ada jutaan pecahan kaca menghujam jantungnya ketika Riani berjalan melewatinya. Ia kehilangan nafasnya. Waktu serasa berhenti. Atau setidaknya ia ingin waktu berhenti cukup lama. Dewangga mengepalkan tangannya, mencoba menahan keinginannya menarik tangan Riani.

**
            Riani menghentikan langkahnya. Ia memperhatikan lelaki yang sedang berdiri di hadapan Bu Janis. Ia merasa seperti mengenal sosok yang ia lihat itu seumur hidupnya. Riani menggelengkan kepalanya, berusaha menghapus ingatan tentang seseorang.
            “Riani. Ke sini sayang,” Janis meminta Riani menghampirinya.
            Riani mendekatinya sedikit ragu. Ia merasakan sosok lelaki itu seperti menegang. Perlahan-lahan lelaki itu membalikkan badannya, menghadap Riani.
            “Riani, kenalin ini Dewangga, saudaraku tersayang yang akan jadi fotografer kita,” Janis memperkenalkan tamunya pada Riani.



Part-4
Part-6 

Goresan Luka Hati- 4

Sudah beberapa waktu, teman-teman Riani sesama guru mulai menggodanya. Mereka menanyakan hubungannya dengan Ian. Riani hanya menanggapi dengan tersenyum. Ia memang hanya menganggap Ian sebagai teman baru yang kebetulan juga ayah muridnya.

Riani mengakui bahwa Ian memang seorang pria yang akan menjadi idaman banyak wanita. Sikapnya yang sedikit dingin, tetapi akan berubah hangat bila bersama Kevin, dengan pembawaan yang tenang akan membuat banyak wanita bertekuk lutut untuknya. Namun, Riani bukan salah satu dari wanita-wanita itu.

Ia dengan halus berusaha meminta Ian untuk tidak lagi menuruti permintaan Kevin dengan mengantar jemputnya lagi. Ian pun memakluminya. Ian mengerti bahwa Riani tidak ingin merasa sungkan dengan teman-temannya.

Ian selalu terpesona untuk semua hal tentang Riani. Baginya, Riani adalah pribadi yang sangat unik dan spesial. Ia pun tahu bagaimana dalamnya rasa sayang Kevin untuk Riani. Semenjak kematian Kinan, istrinya, ia tidak pernah terpikir untuk mencari ibu baru untuk Kevin. Apalagi Kevin bukanlah anak yang mudah untuk dekat dengan seseorang yang baru dikenalnya.

Ting tong

Lamunannya terhenti mendengar suara bel rumahnya. Ia mendengar tawa mamanya ketika membukakan pintu.  Ia mengernyit, berjalan menuju pintu untuk melihat siapa tamunya.

“Mas Ian,” Dewangga berseru sembari memeluk Ian.

“Kamu itu, sampe di Indonesia, yang ditelepon bukan Mas atau Mama, tapi malah Pak Anto,gerutu Ian.

Dewangga tertawa pelan. “Wah Pak Anto ini, udah dibilangin jangan bilang Mas dulu, tapi malah langsung bilang.”

“Dasar kamu, Ngga. Mama sampe bingung, tapi Masmu bilang mama pura-pura nggak tahu aja. Katanya nanti juga kamu bakal pulang sendiri,” Mama mencubit lengan Dewangga pelan.

Dewangga terkekeh memandang mama dan kakaknya, ia memang merasa bersalah tidak langsung pulang setibanya di Semarang. Dewangga bekerja sebagai fotografer profesional. Ia sering berkeliling pelosok dunia untuk mencari obyek unik untuk difoto. Tidak jarang hasil jepretannya masuk ke majalah-majalah internasional.

**

             Dewangga memandangi foto-foto Riani dalam laptopnya. Ia suka memotret Riani diam-diam ketika mereka masih satu sekolah. Dewangga membandingkan foto wajah Riani dulu dan foto yang baru ia ambil beberapa hari lalu di depan rumah Riani. Wajah Riani memang tidak terlalu banyak berubah, tetap hanya dengan polesan kosmetik yang sangat tipis, tetapi sanggup menambah pesona wajahnya tanpa terlihat berlebihan.
        
           Suara ketukan pelan terdengar dari luar pintunya. Ia berjalan untuk membukakan pintunya dan melihat Ian yang ada di balik pintu.
          
            “Ngga, kita makan malam di luar, untuk menyambut kepulangan kamu.”

            “Besok aja mas, aku udah ngantuk nih,gerutu Angga.

            “Sepuluh menit lagi kita berangkat,” ucap Ian sembari berjalan menjauhi kamar Dewangga.

           Dewangga menggeleng-gelengkan kepalanya. Ian tetap Ian yang seperti dulu. Ian yang kaku dan suka memaksakan kehendaknya, tetapi kakaknya adalah seorang yang berjuang demi keluarga yang dicintainya. Ian harus mengambil alih perusahaannya di usia yang sangat muda ketika ayah mereka meninggal dunia. Itulah yang menyebabkan Ian seringkali bersikap kaku dan keras. Padahal dulu Ian juga pribadi yang hangat dan menyenangkan. Sekarang ia hanya sanggup bersikap hangat pada orang-orang yang ia sayangi.

**

            Riani melihat mobil sport berwarna putih terparkir didepan rumahnya. Ia tersenyum, sudah lama ia tidak bertemu Ishana, satu-satunya sahabat yang ia miliki. Tiba-tiba seseorang berlari dan memeluknya erat.

            “Riani, ternyata aku kangen banget sama kamu,ucap Ishana.

            “Hahahaha, kamu sih liburan kelamaan.”

            “Liburan apaan. Itu kerja Riani, kerja rodi malah,sungut Ishana.

            Riani tertawa melihat sikap Ishana. Ishana seperti saudara perempuan yang tidak pernah dimilikinya. Mereka mulai dekat ketika Riani pindah sekolah ke sekolah Ishana. Saat itu mereka sudah kelas 2 SMA.

            Ishana tidak pernah menyerah untuk mendekati Riani walau sekeras apapun Riani berusaha menjauh. Ia adalah satu-satunya teman yang membelanya ketika teman-teman mereka melakukan hal-hal yang buruk pada Riani. Ishana dan Riani, sepasang sahabat dengan kepribadian yang sangat bertolak belakang.



Part-3
Part-5 

Awarding Event #BulanNarasi,,,dan Alhamdulillah,,masih disuruh belajar lebih banyak lagi..

Jadi ceritanya, awal bulan Mei kemarin aku ikut #BulanNarasi. Bulan Narasi itu tantangan buat para penulis untuk menyelesaikan novel mereka, minimal 150 halaman dalam waktu 30 hari, start tanggal 1 Mei 2014, dan tanggal 30 Mei 2014, udah harus diposting di Nulisbuku.com.

Bulan Narasi sendiri digagas oleh Plot Point dan bekerjasama dengan Nulisbuku.com.

Selama ini sih belum pernah sama sekali buat novel. Ada sih 2 cerita yang niatnya pengen aku buat jadi novel, tapi masing-masing belum ada yang berhasil ditulis lebih dari 10 halaman. :p

Tapi Alhamdulillah,,berhasil nyelesaiin tantangan dari #BulanNarasi dan novel pertamaku akhirnya selesai.

Setelah nunggu berbulan-bulan, akhirnya pemenang dari #BulanNarasi diumumin tanggal 16 Agustus 2014 kemarin, dan Alhamdulillah belum menang. :D

Menulis bukan suatu proses yang instan. Menuangkan semua imajinasi yang ada di kepala ke dalam sebuah tulisan menurut aku gampang-gampang susah.Kadang stuck di kalimat itu-itu aja. Mungkin referensi bacaanku kurang banyak kali ya. Aku orang yang suka buat drama didalam pikiranku sendiri. Kadang kalau lagi dijalan, ide itu ngalir gitu aja, tapi giliran di depan laptop, langsung deh ide yang tadi menguap, hilang.

Sekarang aku selalu berusaha nulis semua ide yang tahu-tahu melintas di otak. Kalo lagi megang kertas, ya ditulis dikertas, tapi kebanyakan aku tulis di hp.

Aku yakin Allah selalu ngasih kesempatan kita di waktu yang tepat. Jadi kalau sekarang ini belum jadi kesempatanku, berarti masih belum waktunya dan aku masih harus belajar banyak lagi, memperbanyak referensi bacaan. Siapa tahu nanti aku bisa nulis kayak Lima Sekawan-Nya Enid Blyton, Harry Potter-nya J.K Rowling,  The Hunger Games-nya Suzanne Collins, The Lord of The Ring-nya J.R.R Tolkien.

Aamiin..Aamiin..