Acara pentas seni tahunan di SLB Bhakti Bangsa
akan segera diselenggarakan. Setiap tahunnya, para siswa akan menunjukkan
segala kebolehan mereka. Acara ini dilakukan untuk meningkatkan kepercayaan
diri bagi semua siswa.
Sejak
pagi Riani sudah sibuk mengatur auditorium menjadi panggung yang istimewa bagi
siswa-siswanya. Semua anak-anak secara bergantian akan menjadi pengisi acara
tahunan itu. Riani melihat Bu Janis sedang sibuk dengan ponselnya, ia
seperti sedang kebingungan. Riani pun menghampirinya, mencari tahu hal yang
merisaukan Bu Janis.
“Ada apa Bu?” Riani bertanya setelah
Bu Janis menutup ponselnya.
“Fotografer langganan kita tiba-tiba
membatalkan janjinya, jadi tadi saya kebingungan harus mencari fotografer di mana,
Riani.”
“Lalu sekarang bagaimana Bu? Sudah
dapat?”
“Untungnya sudah, Ri. Ibu baru ingat
kalau ibu punya saudara yang jadi fotografer. Tadi ibu sudah menghubunginya,
dan dia bersedia. Kira-kira satu jam lagi dia akan sampai di sini,” ujar Janis
sembari tersenyum.
**
Dewangga baru saja selesai
berolahraga ketika ponselnya berbunyi. Ia mengambilnya dan mengerutkan kening
melihat nama seseorang yang menghubunginya.
“Halo Mbak Janis,” sapa Dewangga.
“Angga, kamu sekarang masih dirumah
kan?”
“Masih Mbak, kenapa?”
“Angga, tolongin Mbak dong. Di
sekolah Mbak mau ada acara pentas seni, tolong kamu jadi fotografernya ya,” pinta
Janis.
“Wah, nyewa aku biayanya mahal lho
mbak,” sahut Angga terkekeh.
“Biaya berapapun mbak bayar deh,
yang pasti satu jam lagi kamu harus udah sampai di sini.”
“Satu jam? Ini aku belum mandi mbak,
lagian jarak rumah ke sekolahnya mbak lumayan jauh lho.”
“Pokoknya satu jam lagi, titik.”
Angga mendengar Janis menutup
teleponnya seraya menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tertawa melihat sikap
Janis yang tetap sama seperti dulu. Memang sebagian besar keluarganya adalah
seseorang yang senang memaksa orang lain menuruti kehendaknya.
**
Angga sedang berjalan memasuki
gedung SLB Bhakti Bangsa dan ia terkagum-kagum melihat sekolah yang didirikan
saudaranya itu berhasil berkembang secara pesat. Mbak Janis benar-benar
berusaha menciptakan suasana yang sangat nyaman bagi murid-muridnya.
Suasana sekolah terasa sangat nyaman dengan banyaknya pepohonan yang tumbuh
dan dipelihara secara rapi di sekelilingnya. Ada beberapa gazebo mengelilingi
air mancur di taman sekolah. Belum lagi beraneka ragam bunga menambah keindahan
sekolah itu.
Dewangga tertegun, melihat sesosok
wanita yang sedang berjalan ke arahnya sembari membaca buku yang ia pegang
dengan serius, seperti tidak memperhatikan kondisi sekitarnya. Ia tidak percaya
dengan penglihatannya. Namun ia yakin, ia tidak akan pernah salah mengenali seseorang
yang sudah bertahun-tahun ada di hatinya.
Ia merasakan seperti ada jutaan
pecahan kaca menghujam jantungnya ketika Riani berjalan melewatinya. Ia
kehilangan nafasnya. Waktu serasa berhenti. Atau setidaknya ia ingin waktu
berhenti cukup lama. Dewangga mengepalkan tangannya, mencoba menahan
keinginannya menarik tangan Riani.
**
Riani menghentikan langkahnya. Ia
memperhatikan lelaki yang sedang berdiri di hadapan Bu Janis. Ia merasa seperti
mengenal sosok yang ia lihat itu seumur hidupnya. Riani menggelengkan
kepalanya, berusaha menghapus ingatan tentang seseorang.
“Riani. Ke sini sayang,” Janis
meminta Riani menghampirinya.
Riani mendekatinya sedikit ragu. Ia
merasakan sosok lelaki itu seperti menegang. Perlahan-lahan lelaki itu
membalikkan badannya, menghadap Riani.
“Riani,
kenalin ini Dewangga, saudaraku tersayang yang akan jadi fotografer kita,”
Janis memperkenalkan tamunya pada Riani.Part-4
Part-6