“Hari ini pelajaran kita sampai di sini
dulu ya anak-anak. Besok kita ketemu lagi. Tugasnya tolong dikerjakan, jadi
besok bisa dikumpulkan ke Ibu,” ujar Riani sembari memandangi wajah-wajah polos muridnya.
Mereka adalah anak-anak yang memiliki pengendalian emosi yang kurang baik. Sama
sepertinya dulu. Akibat kontrol emosi yang kurang itu, mereka kesulitan untuk
berinteraksi dengan lingkungannya.
Sebagian
besar dari mereka berasal dari keluarga broken
home, walaupun tidak semua anak yang berasal dari broken home akan memiliki kontrol emosi
yang tidak baik. Biasanya mereka merasa tidak diterima oleh lingkungan sekitar
mereka sehingga mereka cenderung merasa rendah diri dan menutup diri.
Perlu waktu bagi Riani untuk dapat diterima oleh mereka. Namun sekarang,
mereka sudah bisa berinteraksi lebih baik dengannya.
Mungkin karena Riani dulu memiliki problem yang kurang lebih sama dengan
mereka, sehingga sedikit banyak dia memahami pola
pikir mereka.
“Iya Bu, selamat
siang Bu,” ucap
mereka.
Beberapa tahun yang
lalu pada masa-masa kelamnya, Riani bertemu dengan Ibu Janis, pemilik sekolah ini. Itu
adalah saat pertama kali Riani bisa merasa
nyaman ada di dekat orang yang baru ia kenal. Rasanya
seperti ia sudah mengenalnya selama hidupnya,
ia
pun seperti sangat memahami Riani.
Beliau bercerita
tentang anak semata wayangnya yang sudah tiada. Anaknya mengalami kecenderungan
untuk selalu membenci dirinya sendiri dan beranggapan tidak diterima oleh orang
lain. Awalnya Bu Janis tidak terlalu memerhatikan sikap anaknya. Beliau dulu
merupakan wanita karier yang sukses sehingga kurang memerhatikan keluarganya.
Namun, suatu ketika anaknya mencoba untuk membunuh dirinya sendiri. Semenjak
itu, Bu Janis berhenti dari pekerjaannya dan mulai menjadi ibu rumah tangga
secara total. Sayangnya, semua upaya Bu Janis sudah terlambat.
Bu Janis dan
suaminya mendirikan sekolah ini karena mereka mengerti bahwa ada beberapa
anak-anak yang memiliki kebutuhan khusus sehingga memerlukan pendidikan khusus
pula. Sekolah yang terdiri dari TKLB, SDLB, SMPLB, dan SMALB ini merupakan
sekolah luar biasa terlengkap dan terbesar di kota ini, Semarang.
Bu Janis
mengajak Riani untuk melihat-lihat sekolah ini. Riani terpana melihat murid-murid di sini,
di mana
mereka adalah anak-anak yang memiliki semangat berjuang yang sangat tinggi.
Bahkan banyak dari mereka yang berhasil menjuarai berbagai kompetisi hingga
internasional. Semenjak itu, setiap kali Riani merasa emosinya
mulai meluap, ia
selalu datang ke sekolah ini. Sepertinya hal itu berhasil menjadi terapinya.
Riani
merasa mendapatkan tempat di sekolah ini. Semenjak ia
kecil, Riani tidak memiliki banyak teman. Teman-teman sekolahnya
selalu menjauhinya
karena mereka mengetahui siapa mamanya.
Orang tua mereka pun selalu melarang anak-anak mereka bergaul dengannya.
Tidak jarang mereka menjahilinya dengan segala
macam hal yang mungkin hanya bisa dilihat orang lain di sinetron. Hal itu yang
menjadi penyebab Riani selalu menutup diri dari lingkungan sekitarnya.
Riani selalu memendam amarahnya
pada semua orang, dan melampiaskannya pada keluarganya.
Tidak jarang Riani dikeluarkan dari sekolah karena lebih sering membolos
daripada masuk kelas. Eyangnya selalu
memindahkannya
ke sekolah lain, tapi pola tersebut selalu terjadi. Mungkin orang-orang mengira
anak kecil adalah makhluk paling lugu di dunia ini. Padahal kenyataannya,
mereka mulai membully Riani sejak ia masih
bersekolah di sekolah dasar.
Ada seorang anak
laki-laki yang sudah Riani kenal sejak ia kecil. Awalnya ia dan Riani adalah teman yang sangat dekat.
Namun, ia mulai berubah ketika mereka masuk ke sekolah dasar. Bahkan ia menjadi pemimpin kelompok anak-anak yang selalu mengasari Riani. Ia dan
teman-temannya beranggapan bahwa anak dari seorang wanita gila tidak berhak
bersekolah di tempat yang sama dengannya. Apabila ada seorang anak yang mulai
berteman dengan Riani, ia dan kelompoknya akan mulai mengganggu anak itu
hingga anak itu tidak mau berteman dengan Riani lagi. Anak laki-laki itulah yang menjadi alasan Riani mulai
tidak menyukai sekolah hingga akhirnya ia berkali-kali pindah sekolah.
Hingga akhirnya Riani lulus SMP dan masuk ke SMA
negeri yang cukup baik, ia bertemu lagi
dengan anak laki-laki itu. Riani kira sikapnya
akan berubah apabila ia sudah menjadi lebih dewasa. Nyatanya sikapnya semakin
parah. Adakalanya semua hal itu begitu berat Riani
rasakan, hingga ia pernah berusaha untuk membunuh dirinya sendiri.
Namun, untungnya Riani masih diberikan kesempatan untuk hidup.
“Bu Riani,” terdengar suara kecil memanggilnya
dari belakang.
“Eh,
Kevin, kok belum pulang?”
“Iya Bu, masih
nunggu papa jemput. Katanya papa baru selesai meeting, makanya telat jemput aku.”
“Oh begitu. Ya
sudah ibu temenin kamu nunggu papa Kevin ya.”
“Makasih ya Bu,
nanti aku kenalin sama papa yang paling cakep sedunia. Hehehe,”
ujar
Kevin sambil tertawa.
Riani
tersenyum mendengar jawabannya.
Kevin adalah
salah satu anak yang paling dekat dengannya. Ibunya sudah
meninggal. Dulu ibunya pernah mengalami gangguan kejiwaan seperti mama Riani. Riani mendengar cerita dari Bu Janis. Awalnya Kevin bersekolah di sekolah
dasar umum. Namun, ia pun sering mendapatkan perlakuan kasar dan tidak
bersahabat dari teman-temannya. Sampai akhirnya ia pun membalas perlakuan kasar
tersebut dengan memukul temannya. Sejak itu keluarga Kevin baru menyadari Kevin
membutuhkan bantuan khusus untuk mengontrol emosi dan sikapnya.
Bu Janis sering
berkelakar ingin menjodohkan Riani dengan papa
Kevin. Katanya papa Kevin merupakan orang yang paling cocok untuk menjadi jodohnya
kelak. Riani tidak pernah menanggapi perkataan Bu Janis karena
sampai sekarang ia
belum pernah memikirkan tentang pasangannya kelak. Ada
beberapa ketakutan bila berhubungan dengan lawan jenis.
“Nah itu papa udah
sampai, Bu,”
ucap
Kevin
Ia melihat
seseorang keluar dari mobil dan berjalan menghampiri mereka.
“Papa, ini Bu
Riani.”
“Selamat siang
Bu Riani, perkenalkan saya Ian, papanya Kevin,”
ujarnya
sambil mengulurkan tangan.
“Selamat siang
Pak Ian. Senang bertemu dengan Bapak.”
Riani seringkali merasa canggung dan gugup bila berbicara dengan lawan
jenis. Sehingga ia selalu menjaga jarak dari teman laki-laki. Ia lebih suka
mengamati mereka dari jauh. Memperhatikan berbagai sikap dan tingkah laku para
lelaki. Namun, pembawaan Ian yang tenang dengan tatapan mata yang tajam malah
membuat Riani sedikit salah tingkah.
“Bu Riani,
pulang bareng aku aja yuk. Jadi aku kan bisa tahu rumahnya Ibu,”
pinta
Kevin.
“Eh jangan
Kevin, rumah ibu jauh.”
“Nggak apa-apa
Bu Riani, mari saya antar pulang sekalian. Supaya Kevin juga senang bisa
mengetahui rumah Ibu.”
“Eh,
tapi...”
“Ayo Bu,
pokoknya ibu harus mau.” Kevin menggandeng Riani
mengajak masuk ke mobilnya.
Di sepanjang
jalan, Riani dan Ian lebih banyak diam. Hanya terdengar suara
Kevin yang sibuk bercerita tentang harinya di sekolah. Tak lama, Kevin pun
tertidur. Perjalanan pulang tidak pernah terasa selama dan sesunyi ini.
“Saya panggil
Riani saja boleh?”
Riani
menoleh ke arahnya, “Eh, eh boleh Pak Ian,” jawabnya sedikit tergagap.
“Ah, sepertinya
panggil Ian saja cukup, Riani. Saya belum cukup tua untuk dipanggil Bapak,”
ucapnya
sambil terkekeh.
“Saya sering
mendengar cerita tentang kamu dari Kevin, dan juga Mbak Janis. Saya tidak
pernah mengira ada seseorang sehebat kamu di dunia ini.”
“Ah, anda
terlalu memuji saya, Ian. Bu Janis lah yang telah membentuk saya menjadi
seperti ini. Saya tidak bisa membayangkan akan jadi seperti apa saya bila tidak
bertemu dengan Bu Janis.”
“Namun saya
yakin, kamu tetap akan menjadi wanita yang hebat Riani.”
Riani tersipu
mendengar ucapannya. Menurutnya aku wanita yang cukup hebat? Ah, itu hanya karena
dia belum mengenalku, pikir Riani.
“Papa, sudah
sampai rumah Bu Riani belum?” terdengar suara Kevin dari kursi belakang.
“Sebentar lagi
sampai, Kevin, itu rumah ibu sudah kelihatan dari sini.”
“Pa, aku punya
ide, gimana kalo setiap hari kita anter jemput Bu Riani, kan rumahnya juga
deket sama rumah kita. Deal?”
“Deal, Kevin,”
sahut
Ian sambil bersalaman dengan tangan mungil Kevin.
“Wah jangan
Kevin, Ibu tidak mau merepotkan.”
“Tidak
merepotkan kok Riani. Tenang saja. Kamu tidak ingin membuat Kevin sedih kan
dengan menolak permintaan kecilnya?”
Riani
terdiam. Menyadari ia sudah kalah
suara dari mereka berdua, dan memang Riani tidak pernah
bisa menolak permintaan dari anak-anak.