Sudah beberapa
waktu, teman-teman Riani sesama guru mulai menggodanya. Mereka menanyakan
hubungannya dengan Ian. Riani hanya menanggapi dengan tersenyum. Ia memang
hanya menganggap Ian sebagai teman baru yang kebetulan juga ayah muridnya.
Riani mengakui
bahwa Ian memang seorang pria yang akan menjadi idaman banyak wanita. Sikapnya
yang sedikit dingin, tetapi akan berubah hangat bila bersama Kevin, dengan
pembawaan yang tenang akan membuat banyak wanita bertekuk lutut untuknya.
Namun, Riani bukan salah satu dari wanita-wanita itu.
Ia dengan halus
berusaha meminta Ian untuk tidak lagi menuruti permintaan Kevin dengan mengantar
jemputnya lagi. Ian pun memakluminya. Ian mengerti bahwa Riani tidak ingin
merasa sungkan dengan teman-temannya.
Ian selalu
terpesona untuk semua hal tentang Riani. Baginya, Riani adalah pribadi yang
sangat unik dan spesial. Ia pun tahu bagaimana dalamnya rasa sayang Kevin untuk
Riani. Semenjak kematian Kinan, istrinya, ia tidak pernah terpikir untuk
mencari ibu baru untuk Kevin. Apalagi Kevin bukanlah anak yang mudah untuk
dekat dengan seseorang yang baru dikenalnya.
Ting
tong
Lamunannya terhenti mendengar suara
bel rumahnya. Ia mendengar tawa mamanya ketika membukakan pintu. Ia mengernyit, berjalan menuju pintu untuk
melihat siapa tamunya.
“Mas Ian,”
Dewangga berseru sembari memeluk Ian.
“Kamu itu, sampe
di Indonesia, yang ditelepon bukan Mas atau Mama, tapi malah Pak Anto,”
gerutu
Ian.
Dewangga tertawa
pelan. “Wah Pak Anto ini, udah dibilangin jangan bilang Mas dulu, tapi malah
langsung bilang.”
“Dasar kamu,
Ngga. Mama sampe bingung, tapi Masmu bilang mama pura-pura nggak tahu aja.
Katanya nanti juga kamu bakal pulang sendiri,”
Mama mencubit lengan Dewangga pelan.
Dewangga
terkekeh memandang mama dan kakaknya, ia memang merasa bersalah tidak langsung
pulang setibanya di Semarang. Dewangga bekerja
sebagai fotografer profesional. Ia sering berkeliling pelosok dunia untuk
mencari obyek unik untuk difoto. Tidak jarang hasil jepretannya masuk ke
majalah-majalah internasional.
**
Dewangga memandangi foto-foto Riani dalam
laptopnya. Ia suka memotret Riani diam-diam ketika mereka masih satu sekolah. Dewangga
membandingkan foto wajah Riani dulu dan foto yang baru ia ambil beberapa hari
lalu di depan rumah Riani. Wajah Riani memang tidak terlalu banyak berubah,
tetap hanya dengan polesan kosmetik yang sangat tipis, tetapi sanggup menambah
pesona wajahnya tanpa terlihat berlebihan.
Suara ketukan pelan terdengar dari
luar pintunya. Ia berjalan untuk membukakan pintunya dan melihat Ian yang ada
di balik pintu.
“Ngga, kita makan malam di luar, untuk
menyambut kepulangan kamu.”
“Besok aja mas, aku udah ngantuk nih,”
gerutu
Angga.
“Sepuluh menit lagi kita berangkat,”
ucap Ian sembari berjalan menjauhi kamar Dewangga.
Dewangga menggeleng-gelengkan
kepalanya. Ian tetap Ian yang seperti dulu. Ian yang kaku dan suka memaksakan
kehendaknya, tetapi kakaknya adalah seorang yang berjuang demi keluarga yang
dicintainya. Ian harus mengambil alih perusahaannya di usia yang sangat muda
ketika ayah mereka meninggal dunia. Itulah yang menyebabkan Ian seringkali
bersikap kaku dan keras. Padahal dulu Ian juga pribadi yang hangat dan
menyenangkan. Sekarang ia hanya sanggup bersikap hangat pada orang-orang yang
ia sayangi.
**
Riani melihat mobil sport berwarna
putih terparkir didepan rumahnya. Ia tersenyum, sudah lama ia tidak bertemu
Ishana, satu-satunya sahabat yang ia miliki. Tiba-tiba seseorang berlari dan
memeluknya erat.
“Riani, ternyata aku kangen banget
sama kamu,”
ucap
Ishana.
“Hahahaha, kamu sih liburan
kelamaan.”
“Liburan apaan. Itu kerja Riani,
kerja rodi malah,”
sungut
Ishana.
Riani tertawa melihat sikap Ishana.
Ishana seperti saudara perempuan yang tidak pernah dimilikinya. Mereka mulai
dekat ketika Riani pindah sekolah ke sekolah Ishana. Saat itu mereka sudah
kelas 2 SMA.
Part-3
Part-5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar