Akhirnya Dewangga benar-benar kembali ke Indonesia, setelah bertahun-tahun menimba ilmu dan mendulang
emas di negeri orang. Saat ini hanya satu orang yang
benar-benar ia rindukan.
Bahkan setelah
bertahun-tahun Dewangga berusaha menghilang dari hidupnya, gambaran
wajahnya selalu terbayang, tersimpan rapat dalam otak dan hatinya. Dewangga termenung. Mengingat gadis yang sudah
bertahun-tahun mencuri hatinya dengan sangat telak.
“Pak, kita ke
jalan Gading dulu ya,” ucapnya pada Pak Anto,
supir keluarga yang menjemputnya di bandara.
Sekembalinya ke kota kelahirannya, hal pertama yang dilakukan Dewangga adalah mencari Riani. Ia butuh melihatnya,
walaupun hanya sekilas. Tidak pernah ada seorang wanita pun yang sanggup
mengikis perasaannya
untuk Riani. Beberapa kali ia
menjalin hubungan yang cukup dekat dengan wanita lain, tapi tidak pernah
bertahan lama karena Dewangga tidak bisa
bersikap layaknya kekasih pada mereka.
Rumah Riani ada
di pinggir jalan raya, sehingga memudahkannya
bila ingin
melihatnya tanpa bertemu langsung dengan Riani. Mungkin sikapnya
ini sudah seperti orang psikopat, tapi ia tidak peduli. Dewangga meminta pak Anto untuk menepi di dekat warung di
seberang rumah Riani. Ia mengambil
kameranya,
mempersiapkannya bila Riani muncul. Hari minggu seperti ini, ia
yakin Riani pasti ada dirumah. Dia adalah tipe wanita rumahan.
Tiba-tiba ia melihat seseorang keluar dari rumah itu sembari
menenteng penyiram tanaman. Ia merasakan jantungnya
berdegup sangat cepat, sudah bertahun-tahun ia
tidak melihatnya, dan sekarang ia ada di depan matanya.
Dia tetap secantik yang ia ingat. Bola matanya yang hitam,
hidungnya yang mungil, tatapannya yang sanggup mengiris-iris hatinya.
Senyumnya yang bisa membuat semua masalah Dewangga seperti menghilang. Namun memang, selama ia
mengenalnya, sangat jarang senyuman manis itu terpasang di wajahnya. Hanya
matanya yang berkaca-kaca yang menandakan kesedihannya yang sering terlihat di
wajahnya. Ia memang hanya bisa melihatnya dari jauh, namun itu
sudah cukup bagi Dewangga untuk mengobati rindunya.
Riani, apakah
sekarang kamu sudah bisa memaafkanku? tanyanya lirih dalam hati.
**
Sudah beberapa
minggu ini Riani berangkat dan pulang bersama Kevin dan papanya, Ian. Riani
semakin salut pada usaha Ian untuk membagi waktunya untuk Kevin dan
pekerjaannya. Sesibuk apapun, ia akan selalu meluangkan waktunya untuk Kevin.
Ia tidak ingin insiden yang menimpa Kevin dulu terulang lagi. Sebenarnya Riani
risih selalu merepotkan Ian, tetapi Kevin benar-benar tidak membiarkan Riani
sendiri.
Eyang dan mama
juga sudah mengenal Kevin. Tidak jarang Kevin datang kerumah Riani dan
bermain-main dengan mereka. Semenjak mengenal Kevin, mama terlihat lebih
bahagia dan jarang melamun lagi. Mungkin kehadiran Kevin jauh lebih ampuh
dibandingkan obat anti depresi apapun bagi mama.
Hari minggu ini
seperti biasanya Riani habiskan dengan bersantai di rumah. Ia tidak terlalu
senang untuk pergi keluar, kecuali pergi ke bioskop dan toko buku. Riani memang
penggemar berat film dan buku. Kedua hobi dimana ia benar-benar bisa masuk ke
dalam dunia imajinasi, membayangkan memiliki kehidupan-kehidupan luar biasa
seperti di dalam film atau buku. Bukannya tidak mensyukuri kehidupannya, tetapi
ada kalanya ketika ia merasa jenuh pada hidupnya, Riani bisa melampiaskannya
dengan imajinasi-imajinasinya.
Semua proses
dalam hidupnya mengajarkan Riani untuk menerima dan bersyukur. Masih banyak
orang-orang yang mengalami proses kehidupan dengan lebih keras. Setidaknya
diluar bayang-bayang
kelam dulu, Riani masih memiliki orang-orang yang menyayanginya, dan ia akan
melakukan apapun untuk melindungi mereka.
Riani sangat
suka berkebun. Menanam bibit-bibit tanaman, menyiraminya, melihat pertumbuhan
tanaman-tanamannya, mungkin seperti melihat pertumbuhan anaknya besok. Riani
sedang menyirami tanaman sembari bersenandung pelan ketika melihat mobil mewah
yang berhenti di seberang rumahnya. Ia merasa seperti ada seseorang sedang
mengawasi rumahnya. Riani menggeleng-gelengkan kepalanya, sepertinya ia berpikir berlebihan.
**
Kevin
menggandeng tangan Riani begitu erat. Ia terlihat sedikit ketakutan berada di
dalam bus kota. Riani merasakan tangan Kevin sedikit gemetaran, ia pun mengusap
tangan kecil Kevin perlahan untuk menenangkannya.
Tadi pagi Ian
mengatakan bahwa siang ini ia akan mengikuti sebuah rapat yang sangat penting
sehingga ia akan menyuruh supirnya untuk menjemput Riani dan Kevin. Riani pun
menawarkan diri untuk mengantar Kevin pulang dan meminta ijin pada Ian untuk
memberikan sedikit pengalaman pada Kevin untuk pulang dengan bus kota.
“Kevin belum
pernah kan naik bus kota?”
“Belum pernah,
Bu.”
“Naik bus itu
enak lho Kevin, kita bisa bertemu dengan banyak orang. Bahkan ibu pernah
mendapatkan teman ketika ibu naik bus kota ini.”
Kevin terdiam, “Kevin
takut kalau ketemu orang jahat, Bu,” Kevin menjawab
lirih.
Riani tersenyum.
Ia pun dulu pernah merasa ketakutan bila bertemu orang-orang baru. Terkadang
perasaan takut itu masih sering muncul. Namun
ia semakin belajar untuk mengendalikannya.
“Di dunia ini,
sebenarnya tidak ada orang yang benar-benar jahat, Kevin. Kita harus
benar-benar mengenal mereka dulu, baru kita berhak menilai seorang itu jahat
atau baik.”
Kevin pun
mengangguk-angguk, “Tapi dari pertama aku liat Bu Riani, aku langsung tahu
kalau Ibu itu baik,” ujarnya
sembari menyandarkan kepalanya pada lengan Riani.
Riani melirik Kevin, sepertinya Kevin benar-benar sudah mengantuk. Sebentar saja ia sudah tertidur lelap. Sebenarnya Kevin ini mengingatkannya pada seorang teman masa kecilnya. Satu-satunya anak lelaki yang pernah menjadi sahabatnya. Namun ternyata sahabatnya itulah yang menjadi salah satu penyebab traumanya. Tidak hanya sekali waktu Riani teringat padanya. Sebenarnya ia ingin bertemu lagi dengannya, tetapi Riani tidak tahu apakah ia akan sanggup bila suatu saat benar-benar bertemu ia lagi. Dewangga, laki-laki yang sangat ia benci, tetapi juga diam-diam ia rindukan.
Part- 2
Part-4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar