BAB I
Pertemuan Dengan Dia
“Aduh, mati aku. Hari pembukaan orientasi
kok malah bangun kesiangan.”
Aku berlari menyusuri
halaman SMA Bina Bangsa Nusantara
sembari mencari-cari letak aula besar, tempat diadakannya pembukaan orientasi
siswa baru. Ketika kulihat pintu belakang aula, aku menarik nafas dengan lega.
Dengan terburu-buru, aku langsung mencari teman-temanku yang sama-sama berhasil
masuk ke sekolah paling bergengsi ini.
“Ve, sini cepetan. Sebelum
kakak-kakak senior liat.” Panggil Viona.
“Bangun kesiangan lagi ya Ve?
Dasar kebiasaan jelek dipelihara terus.” Gerutu Viona.
“Iya nih, parah banget. Untung
belum dimulai ya Na.” Sahutku sambil tertawa pelan.
Kakak-kakak
senior pun memulai pembukaan orientasi. Mereka membagi kami menjadi sepuluh
kelompok. Masing-masing kelompok terdiri dari 40 orang. Selama satu minggu
orientasi, kami akan selalu bersama-sama dengan teman sekelompok kami.
Beruntungnya aku dan teman-temanku sama-sama masuk di kelompok yang sama.
Kelompok X.5. Kami pun disuruh mencatat peralatan yang wajib kami pakai selama
masa orientasi.
“Jadi gitu ya adek-adek. Udah
paham semua kan. Oh iya, jangan lupa, selama masa orientasi, kalian harus
sampai depan gerbang sekolah maksimal jam 5 pagi. Sekarang semuanya kumpul
sesuai kelompoknya, dan setelah ini masing-masing kelompok menuju ke kelas yang
udah ditentukan.”
Setelah semua
siswa orientasi sudah berkumpul di kelompoknya masing-masing, kami dituntun
beberapa senior menuju kelas. Di depan kelas X.4, aku melihatnya. Sosok yang
aku kagumi ketika aku kecil. Mas Titto.
“Ve, kamu masuk sini juga
akhirnya. Dapet kelas berapa?” tanyanya.
“Aku kelas X.5, Kak.”
“Oh, sama Kak Mina ya. Aku
pembina X.4. Yaudah sana masuk dulu ke kelas.”
Aku tersenyum
padanya. Mencoba menutupi debaran jantungnya yang tiba-tiba menggila. Sudah
bertahun-tahun, dan pengaruhnya terhadapku tidak pernah hilang.
“Ve, lihat deh pembina kita.
Cakepnya selangit ih. Udah tinggi, putih, badannya atletis banget.” Ujar Viona.
“Ih dasar ganjen. Belom tentu
juga dia ngelirik kamu. Apalagi sekarang tipe-tipe cowok yang gitu malah
kebanyakan naksir cowok juga loh.” Aku tertawa melihat wajah Viona yang ditekuk
mendengar perkataanku.
“Selamat pagi adek-adek.
Perkenalkan nama saya Steve, dan rekan saya Mina. Selama masa orientasi ini,
kami akan menjadi pembina kalian dan kalian menjadi tanggung jawab kami. Ada
lagi yang ingin ditanyakan?”
“Perkenalan secara lengkap dong
Kak.” Celetuk seseorang yang duduk di pojok belakang.
“Ah, ya. Nama saya Steve, saya
kelas XII IA 3. Jabatan saya di OSIS adalah Kasubsie Basket.”
“Selamat pagi adik-adik. Nama
saya Mina, kelas XII IS 5. Jabatan saya di OSIS sebagai Kasubsie Modern Dance.
Perkenalan dari kami sudah cukup, sekarang perkenalan dari adik-adik ya, maju
urut dari yang di pojok depan sebelah kanan. Sebutkan nama, tanggal lahir,
alamat rumah, no telepon, dan juga asal sekolah.”
Kami pun maju satu persatu untuk
memperkenalkan diri.
“Oke, adik-adik. Sampai ketemu
hari Senin ya. Jangan sampe ada yang ketinggalan ya barang-barang yang harus
dibawa.”
Kelas pun
dibubarkan. Aku segera mengirim pesan pada Rio, sahabatku. Dia berjanji akan
menjemputku sepulang sekolah. Aku berjalan menuju gerbang SMA Bina Bangsa NusanTera.
Disana aku bertemu dengan teman-teman yang berasal dari sekolah yang sama
denganku.
“Ve, kamu belum pulang?”
terdengar suara dari belakangku. Aku menoleh mencari asal suara itu.
“Oh, Mas Titto. Eh Kak, belum
Kak, aku masih nunggu jemputan.”
“Siapa yang jemput? Apa aku anter
pulang sekalian yuk.” Ajaknya.
“Mmm, aku dijemput sama Rio, Kak.
Dia udah perjalanan kesini soalnya.”
Aduuuuh, demi
semua manusia yang ada di bumi. Aku terpaksa menolak ajakannya. Aku menggigit
bibirku, merasa sangat menyesal.
“Kamu masih sama Rio, ya Ve.
Pacaran kalian awet banget”.
“Eh, kita nggak pacaran, Kak.
Kita sahabatan.”
“Hmm, gitu ya. Itu Rio udah
sampe. Hati-hati dijalan ya Ve, aku pulang duluan.”
Aku memandangi
kepergiannya. Membayangkan bila aku menerima ajakannya. Mas Titto selalu terasa
jauh untuk dijangkau. Aku mengenalnya sejak aku baru pindah ke kota ini kelas 4
SD. Dia adalah teman seantar jemputku dan kakak kelasku ketika SD. Semenjak
dulu aku sudah mengaguminya. Dia bukan seseorang dengan wajah yang sanggup
melelehkan hati setiap wanita. Namun, entah kenapa dia sanggup menarik
perhatianku.
“Ve, kalo ngelamun jangan
kelamaan,” Tegur Rio.
Aku berbalik.
Melihat Rio di sudah menungguku. Dia pasti juga melihat Mas Titto. Rio adalah
sahabatku. Dialah satu-satunya orang yang mengetahui perasaanku pada Mas Titto.
Rio dengan sabar selalu mendengarkan semua curhatanku tentangnya. Rumah Mas Titto
dekat dengan rumah Rio, seringkali aku sengaja main ke rumah Rio dengan harapan
dapat bertemu dengan Mas Titto, dan apabila aku berhasil melihatnya, walau
hanya sekilas, aku pasti akan melompat-lompat kegirangan.
“Ayo cepetan pulang Ve, keburu
tambah panas nih,” Gerutu Rio.
“Iya..iya bawel banget sih. Nggak
tahu apa orang lagi bahagia.”
“Hmm, bahagia gara-gara satu
sekolah sama Mas Titto? Bahagia semu tuh namanya.”
“Huh, apaan si Yo, kamu tu memang
nyebelin.” Aku memukul lengan Rio pelan.
“Nyebelin, tapi yang paling
sayang sama kamu.” Ujar Rio cengengesan.
“Ah udah deh ngegombalnya. Pulang
sekarang yuk Pak Ojek. Hehehe.”
“Heh, enak aja tukang ojek.
Yaudah tuan putri cepetan naik motorku yang jelek ini ya.”
Aku tertawa dan segera menaiki
motornya.
“Jangan lupa pegangannya.”
Kurasakan tangan Rio menarik
tanganku, membawa tanganku pada
pinggangnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar