BAB II
M.O.S
Hari ini sudah
hari kedua masa orientasi sekolah. Sejauh ini berjalan dengan lancar. Tugas
yang diberikan senior juga tidak terlalu sulit. Walaupun setiap hari aku harus
menanggung sedikit malu karena penampilan yang diwajibkan selama orientasi, itu
semua sebanding dengan kegembiraanku berhasil masuk ke sekolah ini. Rambut
kucir dua dan tas dari karung gandum cukup memperlihatkan bahwa aku seorang
anak baru yang sedang di orientasi. Memang kuakui penampilanku dengan rambut
kucir dua membuatku terlihat lebih imut, jadi kunikmati saja. Hahaha. Tidak
mungkin kan besok-besok aku menguncir dua rambutku lagi. Bisa-bisa aku dianggap
sebagai anak yang suka mencari perhatian dan dimusuhi oleh kakak-kakak
kelas.
Selama
mos ini, kami diharuskan mencari tandatangan dari semua anak OSIS. Untungnya
aku sudah berhasil mendapatkan sebagian besar tandatangan. Ah ya, aku juga
belum meminta tandatangan Mas Titto. Kemanapun dia pergi, dia selalu diikuti
oleh siswa-siswa baru yang menganggapnya idola baru. Aku tidak menyangka,
reputasinya di kalangan siswa baru cukup tinggi, bahkan bersaing dengan Kak
Steve, yang merupakan senior tertampan. Mungkin karena jabatannya di OSIS yang
cukup tinggi, atau mungkin karena sikapnya yang ramah pada semua orang.
Dua
hari ini sebenarnya dia cukup sering memasuki kelasku. Bahkan di setiap waktu
istirahat, dia pasti berada di kelasku. Sampai-sampai Kak Yani, pasangan
pendampingnya, memarahinya. Terang saja aku merasa sedikit kegeeran akan
sikapnya. Namun, aku tidak berani berharap lebih.
Kulirik
daftar nama senior milikku. Hanya kurang lima nama lagi, milikku sudah selesai
dan dapat dikumpulkan. Kulihat Mas Titto sedang duduk sendirian di depan kelas
X.4. aku menarik nafas dalam-dalam, berusaha menghilangkan semua kegugupanku
bila bertemu dengannya.
“Siang Kak, saya bisa minta
tandatangannya?” tanyaku sembari tersenyum berusaha menenangkan debaran
jantungku.
“Eh Ve, ya bolehlah. Oh iya Ve,
kalo didepan aku aja, manggil Mas kayak biasanya juga gak papa kok.”
“Oh, nggak papa aku manggil
Kakak. Mumpung masih MOS, kalo udah nggak MOS kan gak bisa manggil Kakak lagi.
Hehehe.”
Aduuuh apaan sih Ve, ngomong kok
aneh gitu, omelku dalam hati.
“Hahaha, kamu bisa aja Ve. Mana
sini daftar namamu, aku tandatanganin dulu.”
“Ini kak.” Ucapku sembari
menyerahkan daftar namaku. “Emm, Kak, kalo Kak Mini itu yang mana ya?”
“Masak sih kamu nggak tahu Kak
Mini? Kak Mini itu nama lengkapnya Kak Tumini. Dia kan yang sering muter-muter
kelas.”
Aku memutar mataku. Ya jelaslah
aku tidak tahu. Dia selalu mengenalkan diri sebagai Kak Mini. Bahkan nama di
seragamnya tertulis Mini. Bukan Tumini.
“Oh, kalo Kak Mini, tahu kok Kak.
Yaudah Kak, makasih banget ya.”
“Iya sama-sama. Yaudah abis ini
cepetan masuk kelas loh Ve, mau dikasih daftar barang-barang yang perlu kamu
bawa besok.”
“Iya Kak. Mari Kak.”
“Ve, masuk kelas yuk.”
Aku menoleh, kulihat Viona
berlari-lari kecil kearahku.
“Aku duluan ya Ve,” ucap Mas Titto.
Kupandangi lekat
sosok tubuhnya yang perlahan menjauhiku. Jantungku pun masih berdebar-debar
dengan kencangnya. Entah sampai kapan dia akan mempengaruhi hingga seperti ini.
***
“Selamat siang semuanya. Untuk besok, ada tugas istimewa untuk kalian.
Besok kalian wajib membawa surat cinta yang sudah kalian buat untuk salah satu
senior disini. Kalian boleh memilih senior yang ingin kalian berikan surat
cinta. Yah, anggap saja ini seperti kesempatan kalian mengungkapkan perasaan
pada salah satu senior yang mungkin kalian kagumi. Jangan lupa, wajib
disertakan foto kalian yang paling cantik atau cakep menurut kalian.” Ujar Kak
Steve.
“Hah, surat cinta? Aduh, aku harus ngasih ke siapa?” ujarku kebingungan.
“Kan banyak pilihan, Ve. Ada kak Steve, kak Tera, mungkin juga bisa ke kak Titto.
Oh iya Ve, emangnya kamu udah kenal ya sama kak Titto? Tadi kayaknya udah akrab
banget?” tanya Viona
“Oh, kak Titto dulu kakak kelasku waktu SD, Na. Eh, kamu mau ngasih ke
siapa? Jangan bilang ngasih ke Kak Steve?” Ucapku berusaha mengalihkan
pembicaraan.
Aku memang tidak
pernah bercerita tentang kak Titto pada siapa pun, kecuali Rio. Menurutku tidak
semua orang bisa memahami apa yang kurasakan pada Kak Titto. Disaat
teman-temanku sudah memiliki kekasih, aku selalu menolak lelaki yang berusaha
mendekatiku. Yah, sekali lagi kecuali Rio. Sejak pertama aku mengenalnya aku
sudah merasa nyaman didekatnya. Rio sudah menjadi teman dekatku sejak kelas 1
SMP. Tidak sedikit teman-temanku yang meragukan persahabatan kami.
“Hmm, aku galau deh Ve. Pas awal MOS aku naksir berat sama kak Steve, tapi
sekarang aku lebih tertarik ke Kak Tera deh. Kak Tera itu kesannya lebih gimana
gitu loh Ve, lebih misterius. Hehehe.”
“Ih dasar ganjen, yaudah sana buat untuk dua-duanya aja daripada bingung.”
Ujarku sembari menggeleng-gelengkan kepala melihat sikap Viona. Aku melihat ke sekelilingku. Ternyata
sebagian besar perempuan di kelasku juga terlihat antusias sekaligus
kebingungan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar